Ambang Kepunahan Tradisi Sastra Lisan Masyarakat Banjar "Madihin"

Ilustrasi - John Tralala 2005

Sumber Daya Pikiran - Sastra merupakan salah satu aspek yang penting untuk dipertahankan dalam sebuah tradisi dan kebudayaan. Sebab, sastra bisa jadi corong utama dalam pembentukan nilai suatu identitas. Sebagaimana yang secara umum diketahui, bahwa setiap daerah memiliki kekhasan identitas yang tercermin dalam tradisinya masing-masing. 

Dewasa ini, Sastra lisan kurang diperhatikan oleh sebagian besar orang. Sebagai salah satu identitas kebudayaan, perhatian penting perlu diberikan untuk menjaga dan tetap melestarikannya dalam tradisi daerah. Bagaimana jadinya jika suatu kebudayaan tidak dikembangkan dan diteruskan oleh generasi penerusnya? Bisa saja tradisi kebudayaan tersebut punah dan hanya menyisakan nama. Oleh sebab itu, setiap tradisi kebudayaan pada suatu daerah harus terus dikembangkan sebagai ciri khas dan identitas yang akan terus melekat. 

Salah satu sastra lisan yang saat ini kurang diperhatikan, adalah berkurangnya penggunaan atau pertunjukan dari sastra lisan "Madihin", yang berasal dari Kalimantan Selatan.

Mengenal Sastra Lisan Madihin

Madihin merupakan sastra lisan yang menjadi kesenian tradisional asal Kalimantan Selatan. Madihin merupakan medium puisi, syair, maupun pantun yang bersajak a-a-a-a dalam pelaksanaannya. 

Kesenian ini menjadi sebuah identitas kebudayaan dari masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. Dalam pagelaran-pagelaran madihin menggunakan media lisan, atau secara langsung (berkata-kata) digunakan sesuai dengan tradisi yang berkembang di daerah tersebut.

Madihin berasal dari kata madah, yang merupakan serapan dari bahasa arab yang berarti "Kata-kata pujian". Namun, bahasa ini juga telah identik dengan bahasa istilah dalam baasa Banjar "Papadah", atau "Mamadahi", yang berarti memberitahu atau memberikan nasihat. 

Dalam permainannya, madihin menggunakan alat musik pengiring, berupa alat musik sejenis rebana yang disebut sebagai tarbang. Fungsi alat ini hanya sebagai ritmis atau pengiring dari melodi tetap dari lantunan vokal yang diucapkan. Dalam sastra lisan satu ini terdapat beberapa unsur, yakni  unsur-unsur yang senada dengan pepatah pendidikan, moral, agama, dan lain sebagainya.  Setiap syair-syair yang dibawakan oleh pamadihinan, atau Orang yang ber-madihin memiliki makna tersendiri. Terkadang, madihin berisi kritik-kritik sosial terhadap masyarakat secara umum, ataupun pemerintahan. Dalam ber-madihin ada empat macam struktural yang harus dipatuhi atau digunakan dalam setiap penampilan, yaitu 1. Pembukaan, 2. Memasang Tabi, 3. Menyampaikan isi atau manguran, 4. Penutup.

Dalam sastra lisan madihin dibawakan oleh satu orang pamadihinan, terkadang dibawakan oleh dua orang bahkan empat orang. Pamadihinan menuturkan syair-syair secara spontan menggunakan bahasa Banjar atau menggunakan bahasa Indonesia dengan berbagai pesan moral di dalamnya. Entah pesan-pesan nasihat dan nilai-nilai kemasyarakatan atau bahkan pesan-pesan kepada pemerintah sekalipun dalam bentuk sindiran dan humor. 

Esensi kesenian sastra lisan dari madihin bersifat hiburan yang dari dulu sampai sekarang sering diadakan dalam rangka pesta masyarakat setempat. Misalnya, pesta perkawinan, pesta rakyat dihari-hari besar, pemenuhan hajat/nazar seseorang. Bahkan, di hari-hari besar nasional sekalipun sastra lisan ini cukup terkenal di Indonesia. 

Madihin pernah menjadi salah satu sastra lisan yang populer setelah dibawakan oleh salah satu pamadihin yang cukup terkenal yaitu Alm. John Tralala (1959-2018) di TVRI pada era 1980-2000-an. Alm. John Tralala mengangkat sastra lisan ini dikemas dengan syair-syair satire-humor dan menjadi terkenal karenanya.

Perjalanan Madihin Menuju Kepunahan

Dewasa ini, eksistensi dari madihin dan pamadihinan mengalami penurunan yang seiring dengan berkurangnya intensitas pertunjukan ini diselenggarakan. Di masa lalu, sebagian besar dari pementasan acara-acara seni dan sastra Madihin selalu dipentaskan. Namun, saat ini Madihin hanya dipentaskan di beberapa acara tertentu, seperti acara pernikahan ataupun dalam acara panggung hiburan. 

Perkembangan seni lisan Madihin dalam penyelenggaraan acara adat setempat, sudah tidak berkembang sepesat dahulu. Hal ini dikarenakan, salah satunya adalah kurangnya perhatian ataupun kepedulian dan minat masyarakat untuk mempelajari mengenai madihin, khususnya bagi kalangan anak muda. Hingga menyebabkan seni lisan Madihin kurang diminati dan terjadinya pelonggaran terhadap tradisi dan kebudayaan yang ada di tengah masyarakat.

Di sisi lain, ketidakpedulian ini juga disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap sastra lisan. Hal ini berkenaan dengan fungsi dan peranannya untuk budaya setempat di tengah masyarakat. Kehadiran Madihin di tengah masyarakat memiliki nilai-nilai luhur yang perlu terus ada, bertahan dan dikembangkan.

Adapun faktor lainnya disebabkan oleh berkurangnya penutur dan seniman dari madihin yang tergerus arus modernisasi dan perkembangan zaman yang terus pesat melaju-meningkat. Sebagai kritik, kalangan anak muda harusnya mempelajari dan mengembangkan sastra lisan madihin untuk tetap menjadi ciri khas dan identitas budaya masyarakat Banjar. Dan, kalangan orang tua, mulai memperkenalkan kembali madihin dengan cara yang modern dan menarik untuk menarik minat anak muda. Hal-hal semacam ini untuk menjaga kestabilan kebudayaan dari sastra lisan madihin agar pada akhirnya tidak punah dan tinggal sejarah saja.

Daftar Referensi

Faridah, S. (2017). Fungsi Pragmatis Tuturan Humor Madihin Banjar. KREDO : Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra, 1(1). https://doi.org/10.24176/kredo.v1i1.1755

Hasuna, K., & Lismayanti, H. (2017). Madihin sebagai kesenian tradisional bagi masyarakat Banjar. Lentera: Jurnal Pendidikan, 12(1), 38–50. https://doi.org/10.33654/jpl.v12i1.401

Sani, M. B. Z. (2017). Kesenian Madihin Di Banjarmasin Kalimantan Selatan Dalam Tinjauan Aksiologi Dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter. Imaji, 15(1), 80–96. https://doi.org/10.21831/imaji.v15i1.14452

Lebih baru Lebih lama