Sumber Daya Pikiran - Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru adalah periode penting dalam sejarah politik Indonesia. Terjadi setelah jatuhnya rezim Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno pada tahun 1959-1965. Diawali oleh Dekrit Presiden tentang Manifesto USDEK yang diadopsi oleh Soekarno dari akronim 5 prinisp kepemimpinan yang ingin ia laksanakan, yakni UUD 1945 , Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia.
Diakhiri dengan pemberontakan yang terjadi pada tanggal 30 September 1965, Gerakan yang dikenal sebagai G30S-PKI, yang dipercaya sebagai Gerakan pemberontakan yang mencoba untuk merevolusi kepemimpinan Soekarno dan Menggantikan Ideologi nasional menjadi komunisme. Peralihan tampuk kepemimpinan yang memiliki pengaruh yang cukup mendasar bagi perjalanan bangsa ini, dan membawa cukup banyak perubahan besar dalam struktur politik dan kelembagaan politik Indonesia.
Peralihan dari Orde Lama Soekarno ke Orde Baru Soeharto adalah periode transisi penting dalam sejarah politik Indonesia. Orde Lama, yang dipimpin oleh Soekarno, ditandai oleh nasionalisme, demokrasi terpimpin, dan pembangunan ekonomi yang terpusat pada negara. Sementara itu, Orde Baru, yang dipimpin oleh Soeharto, adalah era otoritarianisme, pembangunan ekonomi yang cepat, dan pengendalian ketat terhadap masyarakat. Dalam artikel ini, kami akan mengeksplorasi transisi politik dan kelembagaan yang terjadi selama periode ini, serta dampaknya terhadap politik dan masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1966, Soeharto menggulingkan Soekarno dalam kudeta militer dan mendirikan rezim Orde Baru. Penurunan Soekarno dipicu oleh krisis ekonomi, konflik politik internal, dan ketegangan antara partai politik dan militer. Orde Baru memulai masa kekuasaannya dengan janji stabilitas politik, keamanan, dan pembangunan ekonomi yang cepat.
Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru terjadi secara bertahap, dengan Soeharto mengkonsolidasikan kekuasaannya dan menghilangkan pengaruh politik yang tersisa dari rezim Soekarno. Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pembersihan politik yang brutal pada tahun 1965 menjadi titik balik dalam pembentukan Orde Baru. Soeharto mendirikan kediktatoran militer yang efektif, dengan kendali yang ketat terhadap politik, media, dan masyarakat.
Perubahan kelembagaan politik yang signifikan terjadi selama transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Soeharto memperkenalkan "Pancasilaisme" sebagai ideologi resmi negara dan mengendalikan seluruh sistem politik melalui partai politik yang didukung pemerintah, Golkar. Pemilihan umum yang diadakan pada masa Orde Baru sering kali diatur dan diarahkan untuk memastikan kemenangan Golkar.
Selama Orde Baru, Indonesia mengalami otoritarianisme yang kuat dan represi terhadap oposisi politik. Hak asasi manusia dan kebebasan sipil dibatasi secara ketat, dan kelompok-kelompok oposisi menghadapi intimidasi, penangkapan, dan penahanan oleh aparat keamanan negara. Media diberangus dan dikendalikan oleh pemerintah, sementara masyarakat sipil dibungkam.
Meskipun dikenal dengan kekuasaan otoriter, rezim Soeharto juga berhasil dalam pembangunan ekonomi yang cepat. Kebijakan pembangunan ekonomi yang terpusat pada negara dan penarikan investasi asing membawa pertumbuhan ekonomi yang signifikan, meskipun sering kali dipenuhi dengan korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh elit politik dan bisnis.
Orde Baru Soeharto berakhir pada tahun 1998 setelah tekanan massa dan krisis ekonomi yang parah. Demonstrasi mahasiswa, unjuk rasa buruh, dan tekanan internasional memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Pada tahun yang sama, Indonesia beralih ke demokrasi multipartai dan memulai proses reformasi politik yang luas.
Korupsi, ketidakstabilan politik, dan konflik regional menjadi beberapa dari banyak masalah yang dihadapi oleh pemerintahan pasca-Orde Baru. Selain itu, proses demokratisasi juga terkadang terhambat oleh kepentingan politik yang sempit dan oposisi dari kelompok-kelompok tertentu.
Meskipun Orde Baru berhasil dalam pembangunan ekonomi, rezim otoriter dan korupsi yang meluas menyisakan luka yang mendalam di kalangan masyarakat Indonesia. Pembelajaran dari periode ini mengajarkan pentingnya demokrasi, kebebasan sipil, dan akuntabilitas dalam menjaga stabilitas politik dan kesejahteraan rakyat.
Daftar Referensi
Aspinall, E. (2005). Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. Stanford University Press.
Honna, J. (2006). Indonesia in Transition: Rethinking "Civil Society," "Region," and "Crisis". NUS Press.
Schwarz, A. (2004). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press.
Cribb, R. (1990). The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali. Monash Papers on Southeast Asia.
Heryanto, A. (2006). State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. Routledge.
Schwarz, A. (1999). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press.