Mengorbankan Kesehatan untuk Sebuah Ketenangan: Apakah Itu Harga yang Setimpal

Ilustrasi - IStock Everste

Sumber Daya Pikiran - Ketika saya baru bangun di pagi hari, saya langsung membuka handphone dan membuka satu sosial media yang digemari oleh banyak orang. Saya melihat suatu kalimat yang berbunyi seperti berikut:

"Jika ketenangan lebih penting daripada kesehatan, maka akan aku rusak kesehatanku demi mendapatkan ketenangan"

Ada banyak komentar yang memvalidasi pernyataan atau argumen tersebut:

"Nyakitin diri sendiri buat ketenangan"

Bagi mereka, untuk merasakan ketenangan, mereka perlu merusak kesehatan yang mereka miliki. Hal tersebut menggerakan saya untuk mencoba berhipotesis dan mencoba untuk menganalisis pernyataan tersebut, agar dapat  dengan mudah dicerna dan diterima secara logis. Namun, pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang bersifat ambigu dan kontradiktif. Dari kalimat tersebut saja, kita bisa melihat bagaimana adanya kecacatan secara logika.

Dalam ilmu logika, ada yang disebut sebagai Silogisme, tentang bagaimana seseorang menyimpulkan sesuatu menggunakan penalaran secara deduktif, yaitu mengambil premis umum, khusus, dan simpulan. Contoh sederhananya seperti ini:

Premis Mayor: Manusia sejatinya akan mati di kemudian hari

Premis Minor: Dimas adalah manusia

Kesimpulan: Dimas suatu hari nanti akan mati

Silogisme melakukan penalaran dari hal yang bersifat umum, dan khusus untuk membentuk sebuah simpulan yang baru.

Saya melakukan analisis terhadap kalimat tersebut, yang sangat mengganggu saya pada pagi tersebut. Seperti ini:

"Jika ketenangan lebih penting daripada kesehatan, maka akan aku rusak kesehatanku demi mendapatkan ketenangan"

Pada kalimat pertama, kita tahu secara umum bahwa jika kita tidak sehat, maka artinya kita sakit. Sakit secara fisik maupun batin. Jika kita tidak sehat, kita tidak akan tenang, kenapa? Karena banyak hal yang mengganggu—Semisal, banyak penyakit. Contoh, self-harm (menyakiti diri) lewat cutting (mengiris) pergelangan tangan. 

Kita tidak tau apa dampak yang akan terjadi dari hal tersebut, bisa saja sebuah infeksi. Jika terkena infeksi, otomatis kita perlu berobat dan memerlukan biaya tambahan ke Rumah Sakit atau Puskesmas. Artinya, jika ada penyakit, maka kita tidak akan tenang, karena kita perlu memikirkan dan melakukan banyak hal.

Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa seseorang dikatakan tenang kalau dia saja tidak sehat? Atau, Apakah dengan tenang artinya kita menyandang ketidaksehatan? Kesehatan tidak akan bisa kita dapatkan kalau tidak ada jaminan kesehatan atau sehat. 

Dalam silogisme, pengambilan kesimpulan akan seperti ini:

Premis Umum (Mayor): Kesehatan menimbulkan ketenangan

Premis Khusus (Minor): Aku tidak sehat

Kesimpulan Premis: Aku tidak tenang

Dan jika kita sandingkan dengan pernyataan pertama, akan seperti ini:

Premis Umum: Jika kita sehat, kita akan tenang

Premis Mayor: Akan aku rusak kesehatanku

Kesimpulan: Aku tidak tidak akan tenang

Artinya, secara struktur kalimat dan secara premis, pada kalimat pertama ada sebuah kecacatan yang perlu dibenahi. Karena seseorang tidak akan bisa untuk tenang jika dia saja sakit atau tidak sehat. Kita lihat dari kalimat ini “Jika ketenangan lebih penting daripada kesehatan” 

Seharusnya, kesehatan lebih penting dan utama untuk seseorang bisa mendapatkan ketenangan. Ketenangan tidak akan berarti jika kita tidak sehat. Eksistensi ketenangan tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak menunaikan esensi dan eksistensi kesehatan terlebih dahulu.

Bahayanya dari pernyataan-pernyataan tersebut adalah, bagaimana jika orang awam akan tergiring dan mengartikan bahwa untuk tenang artinya tidak perlu mementingkan kesehatan. Hal ini justru akan menimbulkan sebuah dampak negatif. Orang-orang akan berbondong-bondong untuk melakukan hal yang tidak sepantasnya mereka lakukan.

Sama halnya dengan bunyi kalimat 2:

"Nyakitin diri sendiri buat ketenangan"

Kita tahu jika kita menyakiti diri sendiri, kita tidak akan mendapatkan ketenangan, yang ada kita mendapatkan bibit-bibit kesakitan baru. Seperti analisa sebelumnya, ketenangan tidak akan bisa didapatkan jika adanya sebuah rasa kesakitan. 

Rasa sakit akan menghadirkan sebuah perasaan tidak nyaman, yang mengganggu psikis seseorang. Pada akhirnya rasa sakit tidak akan membawa seseorang pada ketenangan.

Dari kalimat 1 dan 2, ada pergeseran definisi dari tenang dan ketenangan. Dalam KBBI, tenang artinya tidak gelisah, tidak rusuh, tidak kacau, tidak ribut, aman dan tentram (tentang perasaan hati, keadaan). Dan ketenangan adalah hal (keadaan) tenang, Ketentuan (Hati, Batin, dan Pikiran).

Jika secara definisi tenang artinya merasa aman dan tidak gelisah, kita tahu bahwa menyakiti diri sendiri akan membawa pada perasaan yang tidak nyaman dan kegelisahan yang berlebihan. Jadi, dalam pernyataan 1 dan 2 mengalami cacat secara definisi dan logika dari awal.

Untuk itu, kita perlu membenahi dan menstruktur ulang kalimat atau pernyataan tersebut agar tidak menimbulkan dampak negatif dan kesalahpahaman. Untuk tenang, kita perlu sehat secara jasmani dan rohani. Maka, kita tidak akan mendapatkan kesakitan-kesakitan yang baru. Karena jika kita merusak kesehatan untuk mendapatkan ketenangan, maka kita tidak akan tenang sama sekali.

Kita perlu menyikapi dan menalar sesuatu secara kritis agar tidak terpengaruh pada kenegatifan yang mengarah pada melukai diri sendiri. Kita tahu bahwa, menyakiti diri sendiri tidak mempunyai dampak yang baik. 

Untuk mereduksi rasa sakit, seseorang perlu menerima rasa sakit itu lebih dahulu, agar dia bisa memahami apa yang salah, dan mencoba untuk memperbaiki atau menyembuhkan hal itu berdasarkan intuisinya sendiri, atau melalui pertolongan eksternal yang bisa mengobati.

Daftar Referensi

KBBI, Silogisme

KBBI, Tenang

KBBI, Ketenangan

Lebih baru Lebih lama