Sumber Daya Pikiran - Hari ini, tepat pukul 15.28 WIB. Saya, cukup merasakan kesendirian yang menjalar dalam sebuah kamar kontrakan sederhana, dengan berlagak keluar-masuk tanpa mengucap sepatah kata pun untuk sekedar berbincang dan bertutur sapa pada manusia sekitar.
Beginilah keadaannya, keadaan seperti ini kadangkala cukup saya nikmati sembari kadang sibuk dengan pikiran sendiri dan berbicara dengan diri sendiri untuk sekedar melepas penat dan mencoba-coba cara untuk mengekspresikan diri, tak tahu dengan pasti mengapa, semuanya berjalan begitu saja. Sampai pada kertas ini saya mencoba untuk membicarakan beberapa hal untuk melepaskan pikiran.
Patut untuk diakui dengan jujur bahwa saya kesepian ditengah keramaian, berulang-ulang mencari jawaban, namun tak juga kunjung bertemu.
Menuliskan ini bukanlah bermaksud untuk membuat tulisan sastra yang kaya akan metafora.Tapi, pena merah dan kertas putih inilah teman untuk berbicara tentang hal-hal yang spesifik, terdengar lugas dan diungkapkan secara jujur. Karena, memang tak ada yang mesti ditutup-tutupi.
Pertama-tama supaya apa yang dituliskan tidak lari kemana-mana, ingin disampaikan bahwa ini hanyalah catatan pribadi yang tak mesti disebar luaskan. Akan tetapi jika pun tidak, tak sampai hati rasanya jika berdebu saja ditumpukan meja yang amat membosakan.
Marilah awali tulisan ini dengan pertama kali saya bertamu pada tulisan-tulisan yang ditulis oleh Tan Malaka. Sebuah buku berjudul Madilog. Dari judulnya saja cukup menarik buku ini ditengah-tengah berseliweran buku dengan judul bermacam-macam bentuknya sekarang ini. Tak punya alasan yang kuat mengapa judulnya begitu, atau mungkin memang bukunya tidak untuk di iklankan demi keuntungan yang berlebihan, pasti ada maksud lain dan tak mesti dipahamkan dengan dalam.
Tan Malaka memang Cukup menggagumkan, dan jika i mencoba untuk membayangkan diri berpijak ditengah-tengah penjajahan dan kejaran pihak imperialis, ia berhasil masuk keruang pikiran barat dimana orang-orang menyebutnya pusat ilmu pengetahuan, ia selami dengan cukup tajam. Tak cukup rasanya untuk mengambarkan bagaimana orang ini, tetapi mesti diakui beliau adalah orang cerdas dan berani.
Jikapun buku ini didiskusikan ulang di zaman sekarang, dengan beberapa orang terdekat mungkin akan banyak penolakan yang dapat diterima. Bukan tanpa alasan, saya mengenal betul bagaimana tabiat orang-orang yang saya kenal dekat. Namun mungkin nanti juga akan bertemu, atau pun ini juga saatnya.
Kalaupun dahulu disimpan dengan rapat. Buku ini harus jujur diakui cukup merekonstruksi pikiran, penjelasan yang sismatis dan kaya akan persfektif disampaikan dengan apik sehingga bisa saja membuat orang yang membacanya jika pun bersikap terbuka akan tenggelam dalam perjalanan Tan Malaka.
Memang, bermacam buku yang berkenaan sama dengan buku ini dapat banyak ditemui, akan tetapi lain hal rasanya bagaimana buku ini berkomunikasi, walaupun ada banyak bagian dimana sulit untuk dipahami dan benar-benar cukup untuk membuat pusing kepala, sampai-sampai persoalan lain terlupakan.
Pada bagian Geometri misalnya, ilmu ukur matematika, jika para pembaca tak begitu memperhatikan ilmu ini sewaktu duduk di sekolah menengah akan terasa sulit untuk mengerti maksudnya bagaiamana, tetapi begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi persoalan lainnya yang dihadirkan buah penanya itu dalam mengkritik logika-logika mistik yang kalau berkenan dipahami memanglah tak cukup masuk akal.
Penjelasan yang ia mulai dari filsuf klasik, sampai pada ilmuan kontemporer seperti, Dalton, Newton, Enstein, Paraday, Lenxeus, Darwin hingga tokoh-tokoh politik sekaliber Gandhi ia kupas dengan tajam ditekan diujung penanya itu.
Sistematika tulisan yang ia buat, jika diperbolehkan untuk digambarkan, dimulai dari logika mistika, yang ia ambil contoh dari mitologi Egypt, Maha Dewa Rah. Kalau mereka-mereka yang tahu tentu paham kemana sebenarnya arah pena nya ini diarahkan, menurutnya ada satu pertanyaan tangkas untuk di selesaikan, bagaimana mungkin sesuatu yang tak berwujud dapat menciptakan sesuatu yang berwujud?.
Mari kita ambil contoh, apakah perkataan lapar dapat membuat perut kenyang? Tak ada bukti baginya untuk hal ini dan bertentangan dengan hukum akal. Sebelum menjawab ini janganlah terlalu serius, ada banyak penekanan persoalan yang ia buat sebenarnya, dan tak dapat dijabarkan semuanya. Karena memang tidaklah cukup jika ditulis disini, mesti diberi referensi dukungan dan mungkin juga akan dipertimbangkan kembali suatu saat nanti.
Setelah habis-habisan menghantam Maha dewa Rah, arahnya berputar menuju satu filsafat yang tak kalah baiknya, ialah Filsafat Idealisme, yang ia pahami itu. Dari sinilah dapat dipahamkan kemana arah filsafat Tan Malaka ini, jika dicermati dari tulisannya ia banyak menjabarkan Engels dan beberapa kali Marx serta logika Marxisme, dalam hal ini ia pakai Materialisme. Posisinya berlawanan arah dengan idealisme dengan tokoh-tokoh nya dari Plato hingga David Home bahkan Hegel meski dialektikanya juga dianggap penting.
Seperti menonton pertandingan sepak bola tulisnya, kita mesti mengelompokkan supaya dapat melihat siapa yang bertanding, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ditulisnya dalam alam filosofi akan lebih baik jika tidak memakai filsafat maju-mundur seperti Immanuel Kant, filsafat yang bukan untuk bertarung.
Jika dipahami lebih dalam, memang kedua sisi filsafat ini memang hebat, cukup rapat untuk dilihat kelemahannya pada masing-masing pihak. Tak seperti mitologi Mesir tadi. Tak banyak ruang untuk menuliskan, singkat saja, sama hal nya Tan Malaka, perbedaan dari dua hal ini terdapat pada apa yang lebih dahulu “ada”. Diantara “makna dan wujud”, Idea dan Benda”. Boleh dipahami lebih lanjut, akan tetapi kedua-dua nya muncul dari semangat Renaisans, semangat rasional sehingga membentuk panah Sejarah kita hari ini, yang keluar dari belenggu abad kegelapan (The Dark Ages). Dari ungkapan paling terkenal oleh Rene Descartes.
Cukup butuh waktu yang lama untuk dipahami bagaimana pertarungan itu berlangsung, akan tetapi sebenarnya dapat dilihat -jikalau tak keliru- logika masyarakat diarahkan saat ini, filsafat idealisme lah yang memenangkan pertandingan pengaruhnya, bertalian erat dengan semangat teknologi hari ini, sementara materialisme berjalan diam-diam dan kadangkala naif tak mengaku terang-terangan.
Pada intinya inilah semangat modernisasi hari ini. Tak cukup banyak data untuk disampaikan disini, tetapi sebagai bahan panas, inilah catatan pribadi. Inilah pula awal imajinasi gila bertemu Tan Malaka untuk memahamkan saya secara detail apa yang ia maksud puluhan sudah lewat itu.
Ditengah-tengah analisanya yang cukup akurat, pada saat ini kemana logika masyarakat mengarah cukup tergambar pada bentuk materialistik, bahkan jika diamati sedikit demi sedikit dalam beberapa hal semisal pada soal cinta, etika, estetika, dan bahkan spritualitas, semakin digerus zaman. Ingin sekali saya katakan pada Tan Malaka:
“Saat ini semuanya sudah serba bentuk matematika, sekarang zamannya serba digital, komputasi komputer, bahkan kecerdasan buatan, arena permainannya algoritma bung. Saya mendapati manusia-manusia mesin, mereka bukan hanya hilang idea yang dulu bung kritik, sekarang mereka dimanipulasi oleh layar kecil tak seberapa, yang dibuat oleh kaum borjuis kapitalis yang kokoh. Dan yang miskin tidak menyadari, mereka dihidangkan filosofi stoik dan spiritual palsu”
Beginilah kalimat pertama yang akan di lemparkan kepada Tan Malaka, tak cukup disitu, saya juga akan mengucapkan :
“Sekolah-sekolah kita sebenarnya tak kekurangan alat untuk belajar ilmu alam bung, bahkan maju pesat, tetapi murid-murid kita tak diajari mandiri, mereka di peralat oleh asing yang mengeksplotasi alam bangsa kita, bahkan sekena-kenanya saya hampir terjeremus, atau sudah terjerumus. Paradigma Pendidikan untuk mendapat pekerjaan, seperti yang bung tulis pertama pada saat menggunakan pena sains khususnya matematika, menjawab persoalan untuk segera mendapat hasil, bukan bagaimana rumus dan persoalan itu terjawab bung. Pendidikan bangsa terjerat oleh orientasi pragmatis bung.”.” Apakah bung ingat cerita DR Frankenstein yang pernah bung singgung itu? ditempat asalnya mereka sedang mengalami dilema sosial, dibangsa kita baru menimati “.
Tak cukup gambaran bagaimana akan mencercah Tan Malaka dengan beragam pertanyaan, bahkan ada banyak persoalan lain, seperti fanatisme buta, politik buta, demokrasi palsu bahkan rasisme. Teramat kompleks, dan sekelibat imajinasi berhenti.
Belumlah sampai pada dialektika, apalagi berpikir logis. Kita dihantui kelaparan, kecemasan dan frustasi karena lekas tak mendapat pekerjaan. Setelah beberapa waktu berpikir mondar-mandir, bolak-balik, sore ini memang cukup mengairahkan. Mungkin karena tak mau pusing sendiri saya mengandai seperti orang gila yang berharap bertemu Tan Malaka yang sudah mati ini, bahkan kuburnya saja tidak begitu jelas.
Jikalau coba-coba diteropong, memang Tan Malaka ini tak cukup dikenal dikalangan masyarakat, atau mungkin tidak tahu sama sekali. Tak tahu juga apa sebabnya, ini sulit dijelaskan. Akan tetapi jika pun ingin sedikit sadar, masyarakat bolehlah untuk sedikit menenggok atau sepintas melihatnya. Karena tokoh ini cukup tajam analisisnya, dan kalau diperbolehkan untuk sedikit diperbandingkan dengan politisi kondang yang tegap dan terkenal pun belum tentu setajam dan jujur seperti ia dalam mengamati persoalan, seperti mengelupasi pikiran-pikiran David Home, Nietzche, Bakunin, Franklin Benyamin, Engels, Marx, GWF Hegel, Kant, Gandhi, Einstein, Dalton, Newton, bahkan Phytagoras, Archimedes, Demacritus dan Euclid.
Bolehlah kita uji mereka-mereka yang ada pada panggung politik praktis hari ini, dan kalaupun kita mendapati yang tak dapat menjawab, mungkin kita mendapati yang tak berkata jujur. Dari perenungan inilah ilusi ini mencari jawaban siapa orang yang punya semangat kebangsaan seperti Tan Malaka ini.
Lebih lagi perenungan semacam ini bukan terkhusus untuk orang-orang yang dianggap secara khusus dianggap sebagai tokoh saja. Pena masyarakat harus segera diarahkan, apalagi mereka-mereka yang diakui akademisi dan sudah hidup berkecukupan.
Saya merasa cukup malu dengan Tan Malaka, yang hidup dalam pengasingan dan mati secara misterius ini. Janganlah ragu-ragu lagi dan bergerak maju-mundur dalam ruangan ilusi teoritis itu, segeralah tapakkan kaki pada tanah-tanah dimana para petani menyemai benih itu, dan jangan pula dipakai hanya untuk naik jabatan. Berlayarlah dilautan dimana para nelayan itu mencari penghidupan, hingga sampai pada jawaban alternatif dalam menjawab persoalan dan mengusir paksa mereka-mereka yang tak punya hak atas bangsa ini. Didiklah anak-anak bangsa dengan semangat visioner dan revolusioner sehingga Tan Malaka berkembang biak hasil dari pada cinta akan ibu pertiwi.
Sampailah kita pada pada cita-cita para pendiri bangsa, jalanan yang dipenuhi gelak canda tawa bapak-bapak beranak dua, ibu-ibu yang menyeduh kopi, dan pasangan muda ditaman-taman kota sedang menikmati kisah asmara. Tanpa pinjaman online, hantu kredit, teriakkan lapar, dan rasa sakit hati pemuda karena cah ayu lebih memilih laki-laki kaya yang telah beristri. Ini serta-marta bukanlah ilusi gila yang saya imajinasikan dikontrakan sepupu tempat saya menumpang. Bukankah ini cita-cita pendiri bangsa?
Ambil contoh lain Soekarno misalnya, Bukankah konsep Trisaktinya itu cukup menggagumkan? Dan apakah itu akan terwujud? Rasanya kita mesti menjawabnya sendiri, dan kalaupun tidak, maka menanggislah Soerkarno itu, pada bangsa yang begitu semangat ia proklamasikan sebagai bangsa yang Merdeka.
Tak mau lebih panjang lagi, demikian kesendirian ini diceritakan jika tak elok disebut kesepian, tak cukup waktu untuk menggambarkannya, dan tak cukup pantas juga memberi gambaran seenaknya pada para pendiri bangsa.
Akan tetapi, jika berkenan bolehlah kita bersama untuk menemui Tan Malaka untuk sekedar menikmati kopi dan bercerita, dan janganlah pula terlalu sinis, ada kadangkala sesuatu itu buruk dan baik, dan dikala bersama bolehlah kita untuk memilah yang baik untuk dinikmati bersama-sama.
Terakhir, mungkin saya ingin berkata pada Tan Malaka seperti ini, “ Bung jangan sembunyi-sembunyi lagi. Nanti kita bertemu dengan Hatta yang telah bung singgung sebagai intelektual itu, untuk sekedar cari tahu pengalamannya di Alam Pikiran Yunani”
Daftar Referensi
Malaka, Tan. 1951. Madilog : Materialisme, Dialetika dan Logika. Penerbit Widjaya.
Hatta, M. 2006. Alam Pikiran Yunani. UI Press