Sumber Daya Pikiran - Saat itu, aku sedang berjalan di ladang yang tandus ini, siang dan malam berganti, hanya ada bangkai binatang, kalajengking, dan kaktus yang kulihat setiap harinya. "Belum, masih belum selesai, masih harus menemukannya," aku bergumam terus di kepalaku untuk mencarinya, aku percaya mereka masih ada disini dan aku tidak bisa membiarkan mereka menjadi bangkai yang kutemukan seperti itu. Aku sendiri lupa, sudah berapa lama aku berada di gurun ini, catatan jurnalku berhenti di lembaran terakhir pada tanggal itu. Dalam catatan terakhirku ini, jurnal terakhir yang selalu membuatku tidak mau pergi dari gurun ini, akan jadi pengingatku, tentang setiap keputusan yang aku ambil. Setelah cukup beristirahat, aku melanjutkan perjalananku.
“Ada anak-anak yang lahir di gurun, dan tanpa tau apa artinya hidup, mereka menjadi bangkai, dimakan oleh sinar matahari, tubuhnyapun juga menggigil di malam hari hanya beralaskan tumpukan pasir yang dia kumpulkan menutupi tubuhnya dan tertiup lagi dan dikumpulkannya lagi. Banyak anak yang lahir di gurun, dan mereka mati, tanpa pernah benar-benar diketahui keberadaan mereka.”
Aku pikir ini hanya sebuah bacaan sederhana yang muncul di beranda sosial mediaku, tentang mimpi dan harapan. Mana mungkin ada seorang anak yang lahir begitu saja di gurun dan mati, orang tua mana yang tega mencampakkan anaknya. Setidaknya, itu yang aku percaya sampai aku sampai di sebuah kafe kecil yang jauh dari keramaian kota. Mataku telah dihukum untuk menyaksikan sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan. Para barista yang memperhatikanku terdiam di pintu masuk, "mas? mau pesan apa?" Kata barista muda itu. Aku semakin kaget dengan sikapnya seperti tidak melihat apa yang aku saksikan, butuh beberapa detik sebelum aku bersikap datar kembali dan memesan kopi tanpa gula dengan segala bahasa perkopian hari ini. Setelah memesan kopi tersebut kemudian aku pergi menghampiri orang itu, kutanya apakah aku boleh duduk bersamanya dan dia tampak diam saja namun aku memberanikan diri untuk duduk terlebih dahulu tanpa dia menjawab.
Aku tidak memulai percakapan sebagaimana orang pada umumnya, aku tidak terbiasa dengan struktur yang kaku itu. Aku hanya memeperkenalkan namaku, kemudian aku bertanya "dunia seperti apa yang telah kamu lewati hari ini?" Orang tersebut, yang semula sorot matanya kosong tanpa harapan, berubah menjadi bendungan air yang masih coba ia tahan sembari berkata "apa maumu? Apa yang kamu pedulikan tentang duniaku untuk keuntunganmu?" Mendengar jawaban tersebut aku terdiam sejenak.
"Tidak ada, aku tidak ingin mengambil keuntungan apapun dari duniamu itu, atau dari yang kamu miliki saat ini. Pertanyaanku sederhana, seperti kopi ini, dia hanyalah sebuah kopi asli, tanpa gula, tanpa rekayasa pahit menjadi manis. Aku melihat bibirmu begitu kering, kulitmu juga, penuh dengan debu pasir terutama rambutmu yang bergelombang itu tampak menumpuk kepahitan yang sedang kamu alami. Akan aku ubah pertanyaanku, jika dunia yang kamu tempati sudah rusak, apakah benar itu rusak? Atau kita hanya berjalan di tempat yang sama sampai kita tidak sadar perlahan tempat itu mati?" Tanyaku kali ini sambil memperhatikan seluruh gelagat yang dia punya.
"Aku tidak tahu, aku telah mati, tapi aku tidak bisa mati sampai aku benar-benar mati." Mendengar jawaban itu, aku yang ingin menjawab pernyataan orang tersebut kemudian terbangun. Rupanya aku sedang bermimpi lagi, tentang penyalamatan pertamaku, manusia gurun benar-benar ada dan hanya aku yang percaya itu saat ini.
Orang-orang disekitarku berpikir aku gila. Tapi setiap harinya aku selalu pulang membawa anak-anak gurun untuk bertahan hidup dan benar-benar hidup sebelum akhirnya mati. Mereka akhirnya tumbuh layaknya tunas baru di dunia ini dalam tingkatannya masing-masing. Hari terakhirku, sepertinya ini adalah harinya. Aku yang penuh debu ini, dulunya hanya seorang pria gemuk kini kulit dan tulangku benar-benar menyatu melekat tanpa daging.
Aku yang sudah tidak kuat berjalan di siang hari ini, menyenderkan kepalaku di bebatuan, kalajengking menyapaku dengan gagah siap untuk bertarung dan aku biarkan saja dia melakukan apapun sesukanya. Algoritma apapun itu pada hari pertama aku membacanya, setidaknya aku berterimakasih, aku diberikan kesadaran untuk menyelamatkan anak-anak gurun kecuali satu, dan aku benar-benar bangga akan hal itu karena tidak ada lagi anak-anak di gurun ini. Sesaat sebelum aku menutup mataku untuk selamanya, aku melihat pasir ini telah kembali subur, dan sekelompok orang berlari ke arahku.
15 September
Sudah satu bulan semenjak anak-anak gurun terakhir yang aku bawa keluar dari gurun ini. Tapi, benarkah sudah tidak ada lagi anak-anak di gurun ini? Bagaimana jika masih ada dan aku gagal menyelamatkannya? Hukuman seperti apa yang akan menantiku, tidak bisa aku bayangkan. Semalam aku kehilangan akalku, gurun ini seperti berbicara padaku, "ada satu anak yang tersisa di gurun ini dan kamu tidak akan pernah bisa menyelamatkannya, dia akan mati disaat dia tidak bisa menjadi tunas baru." Pesan yang sangat menusuk pikiranku ini, aku tidak boleh berhenti, bukan begitu diriku? Aku harus mencarinya, jangan sampai tunas tersebut mati, dia memiliki nyawa dan dia pantas diberikan kesempatan untuk tumbuh. Jika dia tidak bisa diselamatkan olehku, lantas siapa yang akan menyelamatkannya? Tidak ada orang waras yang sadar akan hal ini, kecuali diriku sendiri dalam melihat fenomena anak-anak gurun. Dunia memang kejam, kekejaman tertinggi saat ini adalah membiarkan tunas muda mati tanpa pernah mencoba. Aku tidak ingin mereka mati, tidak boleh setidaknya sampai aku duluan yang mati. Mungkinkah, aku adalah anak gurun terakhir yang disebut itu? Tidak mungkin, itu hanya hayalan semata. Ini adalah catatan terakhirku, di lembaran buku yang kubawa ini untuk menjaga kewarasanku.