Analisis Kebijakan Prabowo-Gibran Terkait Makan Siang Gratis di Indonesia

Ilustrasi - Kompas Priyombodo

Sumber Daya Pikiran - Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden Indonesia terpilih untuk periode tahun 2024-2029 bersandingan dengan anak Presiden Aktif Joko Widodo yang secara pengalaman baru berkecimpung di dunia politik hanya dalam kurun waktu 2 tahun, adalah kontroversi awal dari perdebatan publik tentang sosok Prabowo.

Perlu diakui, kehadiran Prabowo dalam kontestasi politik bukanlah hal yang baru, sudah 4 kali ia mengikuti Pemilihan Presiden di Republik ini. Tahun 2009 sebagai wakil dari Megawati, tahun 2014 ia berpasangan dengan Hatta Rajasa, tahun 2019 berpasangan dengan Sandiaga Uno, dan tahun 2024 berpasangan dengan Gibran.

Sedang, pada masa pemerintahan Soeharto dan Orde lama, Prabowo bukanlah orang baru. Ia adalah menantu dari Sang Presiden kedua itu. “Jejak masa lalu prabowo adalah jejak yang berdarah”, seperti itulah tanggapan almarhum Munir dalam salah satu siaran lama di TV nasional Indonesia.

Sedang, pada Pilpres sebelumnya Prabowo belum diberikan kemenangan. Pada Pilpres kali ini, ia menang dengan penuh drama politik. Mengapa disebut sebagai drama? Karena ada banyak pro dan kontra yang tidak pernah ada hentinya terkait pemasangan Prabowo dan Gibran.

Mengawali dengan keyakinan akan kemenangan Prabowo dalam Pilpres di tahun 2024 ini, Prabowo melakukan breakdown atau perincian dari anggaran terkait pengadaan makan siang gratis sebagai program yang akan dia laksanakan dalam periode pemerintahannya. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan anggaran dari belanja negara tiap tahunnya, yakni APBN.

Pada tahun 2024, pemerintahan Prabowo Subianto di Indonesia mengumumkan kebijakan kontroversial yang bertujuan untuk membagikan makan siang gratis kepada masyarakat miskin. Dengan pagu anggaran yang diperuntukan bagi 80 juta orang penerima manfaat dari program ini. Lewat perincian yang diklaim, bahwa setiap penerima akan memperoleh sepaket nasi, lengkap dengan lauk yang seharga dengan 15 ribu rupiah. Walau, dalam praktiknya kita tahu, semua distribusi yang dikelola oleh pusat punya resiko pemotongan anggaran dalam proses distribusinya. Ada uang akomodasi, vendor, pajak barang ataupun pemotongan anggaran lainnya.

Namun, yang menjadi sorotan adalah sumber dana yang dipilih untuk mendanai program ini: yang mengambil dana dari anggaran pendidikan, yakni Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tentu saja ini adalah hal yang kontroversial, karena mengambil anggaran pendidikan untuk program baru yang secara implementatif belum dilaksanakan adalah langkah yang gegabah.

Secara umum, topik keberlanjutan dari pendidikan bagi masyarakat miskin di Indonesia bukanlah hal yang telah selesai. Kualitas pendidikan di Indonesia masih terhitung jauh di bawah rata-rata standar pendidikan di negara maju. Di saat yang sama, fasilitas penganggaran sekolah dan biaya untuk kesejahteraan guru masih jadi topik yang secara kritis diperjuangkan oleh para figur pendidik secara luas.

Dalam hal ini, tentu saja realisasi dari program makan siang gratis yang akan dicanangkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto adalah langkah yang menuai berbagai reaksi dari berbagai pihak, terutama terkait dengan implikasi terhadap sektor pendidikan di Indonesia.

Pengambilan dana dari anggaran pendidikan, yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas dan akses pendidikan, dapat memberikan dampak negatif yang signifikan pada sektor ini. BOS, sebagai salah satu sumber daya penting bagi sekolah-sekolah di seluruh negeri, digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk memperbaiki fasilitas sekolah, menyediakan peralatan dan buku, serta memberikan pelatihan untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Penarikan dana ini dapat mengurangi daya dukung yang diperlukan oleh sekolah-sekolah, terutama yang berada di daerah yang kurang berkembang, yang sangat bergantung pada BOS.

Lalu, dampak langsung pada kesejahteraan siswa juga perlu diperhatikan. Meskipun pemberian makan siang gratis diharapkan memberikan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan, pengurangan dana BOS juga berarti mengurangi sumber daya yang tersedia untuk program-program lain yang dapat mendukung siswa, seperti beasiswa, transportasi, atau bantuan lainnya. Ini bisa mengurangi kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas.

Reaksi masyarakat terhadap kebijakan ini juga beragam. Ada yang secara jujur dan terbuka menyatakan kritiknya ke publik terhadap realisasi dari program ini. Namun, ada juga yang mendukung atas landasan optimisme, bahwa makan siang gratis adalah program yang mampu direalisasikan tanpa mengganggu sector pendidikan secara signifikan. Bagaimanapun respon publik, realisasi dari program ini beresiko akan mengorbankan sektor pendidikan di Indonesia yang belum memadai.

Meskipun tujuan dari program pemberian makan siang gratis adalah cara yang cukup populis di tengah masyarakat, karena berkenaan dengan hajat hidup setiap orang, yakni konsumsi pangan. Namun, relokasi dari dana Bantuan Operasional Sekolah selayaknya tidak jadi pertimbangan yang diambil, ada banyak alternatif pembiayaan yang perlu dipertimbangkan.

Pemerintah bisa mencari sumber dana lain yang tidak berdampak pada anggaran pendidikan, atau merancang program bantuan makanan yang lebih tepat sasaran tanpa harus mengurangi dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Sedang, dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap sektor pendidikan, yang menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan dan kemajuan masa depan bangsa Indonesia, yang digadang-gadang akan memasuki masa emas di tahun 2045.

Lebih baru Lebih lama