Sumber Daya Pikiran - Saat ini, "Grasroot" atau masyarakat kelas akar rumput, sering terjebak pada aspek narasi-narasi Hiperealitas. Narasi yang menegasikan realitas faktual, dan menggantikannya dengan realitas fiksional yang bercampur aduk jadi satu. Narasi yang membuat orang-orang dengan mudah tergelincir dan menggelincir oleh arus informasi baik itu sosial media dan platform lainnya.
Hiperealitas yang digaungkan oleh Jean Baudrillard, seorang Sosiolog dan salah satu tokoh penggagas Postmodernism dalam aliran Filsafat. Hiperrealitas yang digambarkan oleh Baudeillard merupakan informasi singular yang searah, atau tunggal, dan homogen. Fenomena berita palsu dan dikotomisasi paradigma yang semakin marak, membuat cara pandang masyarakat dengan mudahnya terpolarisasi.
Fanatisme buta dari sebagian kelompok adalah salah satu dampak yang secara langsung dirasakan. seperti halnya situasi politik nasional yang akhir-akhir ini kita alami. Fenomena sosial yang sedang diuji oleh dramaturgi masyarakat yang menunjukan sikap cenderung anti- Pluralitas. Dinamika masyarakat yang teejadi secara singular dihegemoni oleh perkembangan komunikasi digital era postmodern.
Era Post Truth dan Kecurigaan
Dalam hal ini, Post truth merupakan fenomena sosial yang terjadi saat ini. Perubahan dinamika sosial yang menciptakan “iklim sosial-politik di level masyarakat mengharuskan objektivitas dan rasionalitas, dan membiarkan emosi atau hasrat memihak kepada satu keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda”.
Era Post truth mendapat momentumnya ketika massa merasa jenuh, dan membenci limpahan pesan dan rayuan yang secara massif tersebar. Semua dorongan untuk meminta, untuk membeli, mengonsumsi, memilih, memberi pendapat atau ambil bagian di kehidupan sosial yang saat ini kita rasakan.
Tiga situasi yang menyebabkan era post truth disambut hangat oleh masyarakat. Pertama, devaluasi kebenaran yang berlangsung secara continue, sebagai dampak dari narasi-narasi bermuatan politik elektoral yang menebarkan demagog. Kedua, beberapa orang atau kelompok merasa nyaman dengan informasi yang telah dipilih. Ketiga, media massa lebih menekankan sensasi sehingga hanya berita baru, spektakuler dan sensasional layak disebut "worth news". Kecenderungan ini menyuburkan budaya penyebaran berita hoax yang massif.
Meluasnya fenomena hoax, yang melemahkan rasio, objektivitas dan kredibilitas dari nilai sebuah informasi, tidak bisa dilepaskan dari cara-cara baru untuk mengakses opini publik berkat berkembangnya berbagai media alternatif, misal Whatsapp, Facebook, Twitter, dan Youtube.
Media sosial ini yang membiarkan individu merasa bebas, dan dengan kontrol yang terbatas memungkinkan orang-orang untuk membuat narasi palsu, berita palsu, dan menyebarkannya secara masif. Fenomena yang saat ini terjadi sesuai dengan apa yang Hannah Arendt tulis sebagai "Banalisasi kebohongan dan relativisasi kebenaran".
Kredibilitas media massa yang kurang mementingkan akurasi jadi makin pudar oleh opini pribadi. Fakta menjadi nomor dua, kalah dengan keyakinan dan hasrat pribadi. Lalu apa yang membedakan era Post-truth dibandingkan dengan kebohongan yang sudah sejak lama dipraktikkan oleh para kaum sofis dan politisi?
Setidaknya, ada enam kebaruan yang menandai era Post truth. Pertama, luasnya akses ke konten informasi berkat digitalisasi komunikasi. Kedua, masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui media sosial. Ketiga, demokratisasi media dan jurnalisme warga mengompensasi ketidakpuasan masyarakat terhadap informasi media massa dan kekecewaan terhadap politik. Keempat, masyarakat lebih rentan menerima informasi yang keliru karena berkembang komunitas-komunitas se-ideologi dan memiliki keyakinan yang sama. Kelima, teknologi telah mengacaukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting dari pada kualitas informasi dan etika. Keenam, kebenaran tidak lagi difalsifikasi atau dibantah, tetapi kebenaran menjadi nomor dua. Bahkan, penggunaan istilah “kebohongan”, direka ulang dengan peemainan di balik payung semantik, yang disebut sebagai "kebenaran alternatif" dan "hoax".
Akhirnya, keenam unsur kebaharuan yang telah disebut di atas dimanfaatkan untuk tujuan politik. Yaitu untuk merekayasa agar prasangka negatif kelompok-kelompok masyarakat diintensifkan melalui manipulasi emosi mereka. Maka era post truth ini sebetulnya mereduksi ruang publik menjadi ruang privat.
Padahal menurut Habermas, ruang publik ialah suatu jejaring untuk mengomunikasikan informasi dan pandangan. Aliran komunikasi dalam proses disaring dan disintesiskan sedemikian rupa sehingga menyatu ke dalam ikatan-ikatan opini publik yang dispesifikasikan menurut topiknya. Ruang publik direproduksi melalui tindak komunikatif. Penguasaan bahasa sangat menentukan.
Tindak komunikatif menekankan kebenaran, tetapi kebenaran harus mendasarkan pada konsensus rasional untuk menilai yang salah dalam praksis (pengakuan bersama norma-norma). Dalam era Post truth, kebenaran menjadi nomor dua, yang utama adalah mengobok-obok emosi dan menghindari verifikasi fakta, mengabaikan rasionalitas. Mekanisme yang utama justru manipulasi sehingga tidak ada diskusi terbuka.
Penyebaran hoax menghalangi diskusi terbuka, padahal ruang publik justru menuntut keterbukaan untuk menyerahkan apa yang harus dilakukan agar diperiksa melalui diskusi terbuka dan masuk akal. Jadi, bukan lagi memaksakan norma supaya diakui semua, tetapi mengupayakan agar semua pihak sampai pada mengakui suatu kesepakatan yang memungkinkan bertindak bersama dalam koordinasi. Bila proses ini terus diabaikan berarti proses menguji keabsahan atas dasar konsensus dihancurkan.
Padahal, tindak komunikatif ini menjadi kegiatan utama di ruang publik yang membuka peluang bagi penerimaan pluralitas. Hoax di era post truth mengacaukan proses konsensus padahal konsensus sangat diperlukan untuk mengarahkan kebijakan publik.
Kebohongan yang terjadi sangat berdampak dalam penciptaan kebijakan publik: merusak Public trust terhadap Government. Kebohongan mengalihkan perdebatan ke masalah yang tidak relevan dan menghalangi pembuat UU hingga bertahun-tahun sampai perdebatan bisa diselesaikan secara ilmiah. Kebohongan memecah belah kelompok-kelompok masyarakat serta melemahkan budaya politik sehingga konsensus ideologis menjadi tidak mungkin. Warga Negara biasa, bahkan kaum intelektual, tidak mampu melawan kebohongan yang terorganisasi rapi. Tidak jarang bahkan akademisi direkrut untuk memberi legitimasi ilmiah rekayasa mereka. Betapa korporasi dan kepentingan ideologi sangat canggih dalam memanipulasi media untuk menciptakan situasi di mana kebenaran tidak ada lagi. Lebih tepatnya masalah kebenaran menjadi tidak relevan lagi.
“Senjata” Disinformasi
Dalam sebuah buku yang berjudul Post Truth dan (anti) Pluralisme Forum Mangunwijaya 2018. Bahwa hoax merupakan sumber daya yang selalu dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan kepentingan. Semua gerakan politik yang mau mendiskreditkan penguasa berusaha menggunakan unsur-unsur yang lebih sentimental/emosional dari pada yang rasional. Tujuannya untuk menciptakan dan membakar emosi massa.
Upaya seperti ini menjadi bagian dari populisme karena memainkan persuasi emosional memang lebih efektif dari pada mengikuti kriteria rasionalitas dan kebenaran. Kecenderungan populisme untuk memperoleh kekuasaan demi kekuasaan tidak peduli metode/sarana yang dipakai.
Populis Piawai
Menggunakan demagogi dan retorika, karena inti komunikasi ialah membidik pengaruh melalui manipulasi. Tidak mengherankan bahwa dewasa ini, mereka yang berseberangan dengan government cenderung mengintrodusir unsur-unsur sentimental dan emosional, bahkan kalau perlu menggunakan pesan pesan palsu yang sarat dengan kekuatan tendensius. Tujuannya ialah membangkitkan ketegangan dan permusuhan sehingga menciptakan energi yang dibutuhkan untuk menaikkan daya tawar beberapa politisi. Dengan demikian politisi dan massa yang berseberangan dengan penguasa menjadi semakin sulit diprediksi sikap dan tidakannya. Jadi post truth menjadi senjata politik disinformasi dan instrument persuasi massa. Untuk disinformasi dengan teknik mengolah pesan yang menyentuh emosi agar mudah membungkam pikiran dan analitis masyarakat. Fenomena algoritma yang meningkatkan besarnya berita hoax tersebar, dan Polarisasi yang masif menyeruak menyebar menghentak akal sehat masyarakat dan dunia politik.
Di satu sisi, banyak orang dibuat skeptis terhadap kredibilitas media massa, Disisi lain, polarisasi hoax menunjukan bahwa masyarakat justru mudah percaya pada beragam informasi media sosial. Masyarakat dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kredibilitas berita, pesan atau opini sering sudah tidak dipertanyakan lagi kebohongan menyelinap masuk dengan mudah melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis. Akibatnya, didalam masyarakat Indonesia yang sudah terpolarisasi oleh ideologi, ketegangan dan konflik mudah dipicu.
Parahnya, algoritma polarisasi politik semakin menyuburkan masyarakat karena meneguhkan keyakinan ideologi masing-masing kelompok setiap kelompok cenderung menolak bentuk penalaran berbeda atau menolak terhadap kemajemukan atau yang disebut Pluralisme, meski masuk akal atau objektif. Kebohongan menyuburkan ideologi. Jadi, Algoritma Post Truth dan Polarisasi politik anti Terhadap Pluralisme ialah sebuah gejala “benturan peradaban” dalam bingkai pemahaman atas akses yang ditimbulkan oleh meluasnya pemakaian teknologi informasi.
Apa yang disebut fenomena “post-truth” atau pasca kebenaran dan goncangan terhadap sikap atau cara pandang atas pluralisme di dalam masyarakat. Secara garis besar menerapkan empat hal. Pertama, akar antipluralisme pasca “berakhirnya sejarah”. Kedua, bagaimana menempatkan teknologi informasi secara cerdas dalam lingkup masyarakat yang plural dan beragam. Ketiga, aspek yang mendukung berkembangnya sikap bhineka. Keempat, kekuatan masyarakat dalam mengembangkan sikap bhineka.
Sumber Referensi
Forum Mangunwijaya. 2018. Post Truth dan (Anti) Pluralisme. Penerbit KPG