Sumber Daya Pikiran - Saling lapor dan Saling gugat adalah topik berita yang seringkali mewarnai tayangan berita di berbagai media, baik itu layar kaca atau justru platform sosial media yang kita genggam.
Hukum adalah salah satu alasan sebuah konsekuensi dapat diterapkan. Hubungan antar masyarakat diikat oleh sebuah perangkat hukum yang dinamakan undang-undang, yang kemudian menjadi peraturan.
Amerika Serikat, merupakan negara adidaya yang pertama kali mempromosikan Demokrasi sebagai sistem bernegara. Di negara ini hukum menjadi sebuah pedoman bernegara. Tak mengherankan apabila negara lainnya seperti Indonesia turut menjadikan Amerika Serikat sebagai Kiblat dalam berbagai hal, termasuk dalam urusan penegakan hukum.
Dalam hukum terdapat salah satu jargon yang cukup populer, yakni "No One is Above the Law," yang berarti tidak seorangpun yang dikecualikan dalam aturan hukum yang berlaku. Mengokohkan posisi hukum bukan?
Bayangkan kalau sebuah keistimewaan ini dilibatkan dalam hal profit, dengan tujuan mencari keuntungan. Tentu akan menghasilkan sebuah bisnis yang menguntungkan bukan? Salah satunya adalah bisnis somasi, atau lebih dikenal dengan istilah "sue-for-profit," menjadi semakin umum diucapkan karena maraknya kasus yang terjadi.
Gugatan yang dilayangkan untuk mencari keuntungan sedikit demi sedikit telah berubah menjadi sebuah ekosistem, di mana orang-orang tertentu mencari keuntungan finansial dengan mengajukan gugatan kepada pihak lain, terutama terkait dengan pelanggaran hak cipta atau pencemaran nama baik.
Salah satu contoh, Perusahaan transportasi online PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) dan Pendirinya Nadiem Makarim digugat senilai Rp 24,9 triliun ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan tuduhan pelanggaran hak cipta pada tahun 2022 yang lalu (CNBC, 3 Jan 2022). Gugatan ini dilayangkan oleh Hasan Azhari alias Arman Chasan.
Tak tanggung-tanggung Penggugat meminta ganti rugi atas pelanggaran hak cipta atau hak eksklusif senilai Rp41,9 triliun (Tempo, 2 oct 2022). Namun pada september 2023, kasus warga Bintaro itu ditolak Mahkamah Agung (MA). Gojek pun lolos dari gugatan itu (Detik, 18 Sept 2023).
Ini hanyalah sebuah kasus yang menunjukan pada kita tentang bagaiamana seseorang dapat mengklaim hak atas ide mereka dalam ranah bisnis. Sebuah prosesi panjang yang melelahkan, dan secara normatif hukum dipermainkan untuk mendapatkan keuntungan.
Meski gugatan tersebut berakhir dengan kegagalan, namun bagi seluruh pelaku bisnis memiliki pertanyaan di kemudian hari tentang memungkinkannya seseorang mencari peluang keuntungan dalam upaya menggunakan konfrontasi hukum, yang tentu saja hal ini diiringi dengan harapan seseorang itu untuk mendapatkan ganti rugi yang substansial.
Kalaulah hukum adalah sebuah hak yang perlu kita jadikan pedoman dalam hubungan masyarakat, seharusnya kita semua dapat memanfaatkan hukum sebagai sebuah pelindung yang kita perlakukan dengan bijaksana.
Praktik somasi terkadang dilakukan oleh seorang pengacara yang memiliki motivasi mencari keuntungan. Dalam kasus tertentu, pengacara bisa saja menganjurkan orang lain untuk melakukan gugatan sue-for-profit.
Seperti kita tahu pengacara privat mendapatkan dua sumber penghasilan. Pertama dari biaya pendampingan dan konsultasi selama prosesi sidang. Kedua, dari komisi yang didapatkan apabila gugatannya berhasil, dengan kisaran 2% - 10% dari nilai gugatan.
Pengacara, sebagai garda terdepan dalam hukum tentu memiliki tanggung jawab etis untuk memberikan layanan hukum yang adil dan bertanggung jawab. Dengan menganjurkan klien melakukan somasi dengan tujuan mencari keuntungan finansial, tentu berseberangan dengan kode etik dari profesi hukum.
Praktik sue-for-profit tentu saja dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Jika masyarakat melihat bahwa somasi lebih diarahkan pada keuntungan finansial daripada keadilan, hal tersebut dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap integritas sistem hukum.
Profesi penegakan hukum harus memastikan bahwa setiap keputusan didasarkan pada hukum dan bukti, bukan pada motif keuntungan finansial semata, dengan menyesuaikan praktiknya agar tetap konsisten dengan nilai-nilai keadilan dan integritas.
Mencari keuntungan finansial dari sempitnya akses keuangan dan berharap pada keuntungan finansial dari bisnis somasi memang hal yang bisa dilakukan oleh seseorang. Namun, tak lantas hal ini menjadi suatu hal yang wajar untuk seseorang lakukan.
Masih rendahnya pendidikan masyarakat Indonesia yang diiringi dengan keadilan sosial yang belum merata di negeri ini membuat aspek pendidikan menjadi poin utama yang perlu diperhatikan. Pendidikan kesadaran yang dilahirkan oleh pembudidayaan masyarakat lewat ragam aliran pendidikan menjadi hal yang perlu tetap diperjuangkan.
Disisi lain, moralitas hukum perlu dipertahankan dengan melembagakan keadilan dan segala hal terkait penegakan hukum. Pembatasan pada entitas bisnis yang memanfaatkan hukum sebagai alat untuk meraup keuntungan adalah hal yang tidak bermoral.
Memenuhi utilitas seseorang bisa jadi hal yang tidak memiliki tolak ukur. Alasannya? Ambisi seseorang bisa saja tidak terbatas. Sifat rakus adalah sebuah dorongan naluriah yang senantiasa dilembagakan oleh penegakan hukum. Tentu kita akan melihat pencurian dan pembunuhan sebagai hal yang wajar apabila hukum tidak ditegakan secara adil. Sebaimana kita melihat peradaban masa lalu dipenuhi ketidakpastian.
Sistem hukum modern diharapkan dapat menciptakan keadilan yang sesungguhnya. Praktik somasi sue-for-profit yang terlalu didorong oleh motif keuangan dapat merugikan keadilan dan mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang mendasar, yakni Kebajikan dan Kebijaksanaan.
Sebelum melakukan gugatan hukum, ada baiknya untuk mempertimbangkan aspek moral yang melekat di dalamnya agar masyarakat tidak bersikap apatis terhadap penegakan hukum. Percaya pada tiap prosesi hukum dan menjadikan Hukum sebagai salah satu sumber kesejahteraan sosial yang dapat dinikmati oleh masyarakat.