Sumber Daya Pikiran - Tanggal 18 Desember lalu Kemendikbud menyelenggarakan acara Pemodernan Sastra 2023 di Jakarta. Merespon terkait hal ini, sastra sepatutnya tidak dimaknai apa-apa selain bagian dari kehidupan itu sendiri. Pasalnya, dari banyak klaim yang bermunculan dari masa jayanya dahulu (mungkin dikatakan seperti itu), hingga kini, yang penuh lika-liku kehadiran dan keberadaannya, sastra tetap berada pada taraf yang sama saja.
Sastra tetap menjadi sekadar tulisan (atau lisan di jaman baheula), yang dimaksud berguna sebagai edukatif-rekreatif bagi manusia dan kehidupannya, meskipun seiring waktu berjalan hal-hal demikian punya makna tersendiri dan keberagaman lainnya. Dengan begitu, jika memaknai sastra dibingkai dengan sesederhana mungkin, kita tidak mengalami kekecewaan mendalam akibat ekspektasi-ekspektasi yang terbilang berlebihan.
Sebelum jauh-jauh melihat keberadaannya di masa kini, apa ada yang masih seserius memaknai sastra sebagai terminologinya yang beragam itu? Apakah ada yang benar-benar melakukannya? Saya kira memang ada, tapi apakah statistiknya terus meningkat dari hari, bulan, tahun hingga saat ini? Semoga pertanyaan itu tidak mendasar sehingga kecurigaan saya salah adanya.
Melihat fenomena yang ajaib diluncurkan pemerintah terkait hal-ihwal yang berkaitan dengan sastra, sebenarnya ada satu hal yang saya curigai, apa urgensi? Klaim atas ini-itu dari jaman baheula melulu terjadi. Lebih-lebih dalam peluncurannya, yang katanya untuk menjaga eksistensi sastra. Apakah benar adanya? Apakah sastra tak lagi ada ruang sehingga membutuhkan eksistensi?
Sekali lagi, masyarakat mana yang masih membutuhkan sastra saat ini? Ya, jawaban teknis pasti akan dijabarkan dengan statistik belaka, melalui pengalaman personal dan komunitas yang sejatinya tak mewakili kata masyarakat secara universal. Bukankah begitu?
Bagi penyelenggara progam Pemodernan Sastra yang dilaksanakan di Jakarta, pada tanggal 18 desember itu, adalah semacam pengembangan dan menjaga tradisi apresiasi sastra, yang katanya merupakan upaya memudahkan sastra bisa diakses oleh siapa saja.
Progam tersebut adalah itikad baik yang luar biasa berharga, dan sepatutnya saya, sebagai awam dan kebetulan menyukai sastra amat senang dan bahagia mendengar itu. Namun, kecurigaan itu terus dan melulu mendesak pikiran saya terhadap banyak pertanyaan yang sebenarnya amat tidak penting untuk dijawab. Apalagi, siapa saya mempertanyakan progam tersebut? Tapi, baiklah, hal-hal yang mengganjal dipikiran baiknya harus dikeluarkan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan lebih lanjut.
Sepuluh poin yang dilansir dari laman resmi Kemendikbud itu sesungguhnya itikad baik yang amat berguna bagi khazanah susastra. Namun, hal-hal demikian sifatnya terlalu mengikat secara teknis dan pola yang mekanis hanya membuat kekakuan belaka. Tanpa disadari, atas kecurigaan saya itu, hal-hal itu akan menjadi makanan cepat saji yang di mana tekanannya sifatnya temporer.
Pertama, Dari laman tersebut. Penggunaan tajuk "Tingkatkan Minat Penikmat Sastra Masa Kini, Kemendikbudristek Luncurkan Produk Pemodernan Sastra 2023", dikatakan progam ini dilandasi dengan semangat kolaborasi yang menekan pada keterlibatan beberapa pihak. Jadi secara sederhana, ada beberapa unsur-unsur yang memiliki kapasitas dan tanggung jawab bersama sebagai bentuk dari kolaborasi antar pihak. Namun, apakah hal demikian benar adanya? Di mana posisi program tersebut? Jangka panjang, menengah, atau pendek? Berapa biaya yang terkuras guna mensukseskan agenda tersebut?
Dari 33 produk animasi yang mengangkat legenda nusantar, yang bekerjasama dengan Asosiasi Industri Animasi Indonesia, komik dan berbagai macam lainnya. Apakah hanya sekadar menceritakan ulang kisah-kisah itu sebagaimana guru-guru atau para pengiat sastra terdahulu pernah melakukannya? (sebelum acara ini berlangsung). Terlebih lagi hal-hal tersebut diiming-imingi dengan semangat adaptasi, dengan bahasa lainnya dikatakan sebagai alih wahana, yang seolah-olah mengharuskan segala jenis teks-teks itu bisa lebih berkembang kepada media masa kini.
Rangkaian pertanyaan lanjutan berkenaan dengan Apa yang menjadi titik tekan dari kata Tingkatkan Minat Peminat Sastra Masa Kini? Kenapa peningkatan minat hanya dikhususkan bagi Penikmat Sastra? Bukankah seharusnya peningkatan minat itu diorientasikan pada yang belum minat agar di hari depan bisa sedikit minatnya? Kenapa harus meningkatkan minat sastra? Apakah minat sastra tahun 2023 semakin menurun? Siapa yang menentukan naik-turunnya minat itu? Apa bukti dari penurunan minat dan kenaikan? Dari cara apa menilai-menimbang naik-turunnya minat? Apa dari minat baca? Jadi, apakah sudah benar peningkatan minat itu diorientasikan pada penikmat sastra? Bagaimana nasib yang ingin memiliki minat sastra tapi belum seberuntung orang lain? Apa sudah benar maksud baik ini tepat sasaran sesuai urgensi dan ketepatan yang dibutuhkan bagi khalayak umum? Lebih-lebih jika menggunakan istilah modern, apa sih sastra modern? Ukuran sastra modern itu apa? Kenapa karya sastra yang berlisan tidak bisa dikatakan sebagai sastra modern? Ciri dan karakteristik sastra modern dan nonmodern itu apa? Kenapa harus ada dikotomi sastra modern dan nonmodern? Mohon dimaklumi pertanyaan bodoh demikian sepatutnya hanya dijawab dengan sederhana, sebab saya tak pernah mengerti istilah yang runyam dan ruwet yang berkenaan dengan ini dan itu berlangsung tanpa pembuktian secara langusng.
Kedua, dikatakan bahwa selain mengupayakan alih wahana dari bentuk teks menjadi lebih, yang katanya masuk akal untuk masa kini, terdapat pula upaya mementaskan drama dari naskah-naskah yang relevan serta menarik audiens. Bukankah animasi itu adalah satu bentuk pemodernan itu sendiri? Mengapa jikalau ada film animasi, harus ada pula pementasan drama? Bukankah itu hanya memakai satu tubuh yang sama, tapi dibedakan detail proporsional yang lebih detail belaka? Ya, saya tahu, sejatinya keduanya satu hal berbeda, tapi bukankah masyarakat tidak bisa dan mau membedakan hal-hal demikian?
Bila Meminjam isitlah dari KBBI, animasi dikatakan sebagai ‘film yang berbentuk rangkaian lukisan atau gambar yan satu dengan lain hanya berbeda sedikit sehingga ketika diputar tampak di layar menjadi bergerak’. Sedangkan pementasan drama dapat diartikan sebagai sebuah bentuk seni pertujukan yang menyajikan alih wahana teks naskah drama. Secara sederhana, keduanya sama-sama produk ahli wahana dari teks menuju bentuk yang lebih relevan, mungkin diupayakan sebagai upaya menjawab tantangan jaman.
Namun, yang menarik dan cukup ajaib adalah, mengapa pemilihan naskah pentas drama dikotonomi bedasarkan menarik audiens? Siapa yang dikategorikan sebagai audiens? Penikmat sastra yang jenisnya bagaimana? Jika menakar dari kedaerahan, dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, penikmat sastra di setiap daerah akan diulas cerita rutinitas tentang legenda, mitos, dongeng, dan lain-lainnya tanpa penekan yang lebih relevan di masa kini?
Bila sudah dikomparasi dan direlevankan dengan masa kini, apa itu telah dikatakan sebagai bentuk keberhasilan? Lebih-lebih, pementasan drama ini pastinya akan memakan banyak biaya, kira-kira berapa biaya yang pasti dari program ini? Jika biaya itu tergolong besar, bukankah tingkat komunitas teater sudah lebih dulu mementaskan demikian? Apakah yang telah diupayakan komunitas itu tidak relevan? Saya kira pihak komunitas lebih tahu hal demkian, begitu pula pihak pemerintah sebagai panitia penyelenggara Pemoderanan Sastra. Gimana?
Ketiga, Pameran seni yang bertema sastra. Pameran yang dikonsepkan sebagai pameran seni bertema sastra tersebut berupaya menggabungkan karya seni visual dengan tema sastra. Lho? Sastra bukan seni? Apakah sastra bukan bagian dari seni? Bagaimana memisahkan seni dengan sastra? Belum lagi diksi tema sastra, apakah sastra itu tema? Apa sih definisi sastra sehingga ia dijadikan tema?
Meminjam istilah KBBI, tema diartikan sebagai pokok pikiran; dasar cerita yang dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak, dan lain-lainnya. Atau, jika melihat tema dalam seni berarti suatu gagasan, ide dan isi yang terkandung di dalam karya seni (jika sebuah pameran, berararti gagasan yang terkandung dalam pameran tersebut). Jadi, sudahkah tepat penulisan yang disebarluaskan dalam laman tersebut? Pameran seni bertema sastra? Coba jelaskan maksudnya lebih sederhana sehingga orang bodoh seperti saya memahami maksud dan tujuannya dengan jelas, atau para praktisi seni dan akademisi seni itu sendiri, tolong jelaskan maksud dari itu.
Pe-pendek-pengetahuan saya, Pameran seni di sini dimaksudkan guna meng-alihwahana-kan karya sastra ke dalam medium lain, yakni seni visual (seperti dikatakan alih wahana kepada pameran instalasi, patung, dan lain-lainnya). Namun, apa tema dari alih wahana itu? Semangat penyebaran karya sastra kepada khalayak umum? Bukankah hal serupa sudah banyak dijalankan pada taraf komunita dan bahkan hanya mengulangi kegiatan pada tahun sebelumnya. Lebih-lebih, karya sastra siapa dan bagaimana yang akan dialihwahanakan menjadi pameran seni? Sudahkah praktisi seni dan beberapa pihak-pihak yang berkecimpung diajak diskusi perihal demikian? Belum lagi, jika melihat poin nomor satu dan dua, apakah para tokoh, pengiat, peneliti, peminat, atau masyarakat sastra sudah diajak bicara perihal demikian?
Jika progam ini hanya sekadar seremonial belaka, untuk apa ada tujuan mendasar pengembangan dan keberlanjutan apresiasi? Bukankah apresiasi sastra telah berlansung sampai saat ini ditingkat komunitas yang tak pernah dilirik sama sekali keberadaannya? Bagaimana? Apalagi melihat program ini dikendalikan langsung oleh badan negara. Apa sudah melakukan kajian ulang terkait efektivitas rencana-rencana demikian?
Keempat, Penekanan kepada komunitas baca dan diskusi. Hal ini amat menarik, walau terkesan hanyalah omong kosong belaka, karena sejatinya pelaksanaan itu sudah dilangsungkan sebelum program ini direncakan dan dibakukan. Penekanan pada komunitas baca tentu saja biasanya akan membahas tentang "value" dari karya sastra. Namun, lagi-lagi, siapa yang menjadi menjamin kegiatan ini ada value? Siapa tokoh yang layak dijadikan rujukan guna membahas karya sastra? Kenapa dalam keterangan yang dirilis pada laman Kemendikbud, komunitas baca atau program keempat ini hanya sebatas penekanan memahamkan lebih dalam teks dan menghubungkan orang yang memiliki minat serupa? Sejauh mana riset yang dilakukan guna mengklasifikan minat-minat dalam karya sastra dikatakan bahwa ini lebih dominan dan itu kurang dominan. Ukurannya apa? Lebih-lebih, jika merujuk kepada tajuknya berarti bahasan diskusinya adalah peminatan belaka.
Lho… bagaimana mengkampanyekan karya sastra kepada yang belum berminat? Apakah ini ditujukan bagi peminat saja? Bila untuk keduanya, bagaimana strategi fundamental guna, satu, yang telah lama menjadi peminat sastra bisa bertambah minatnya, dua, bagi yang baru akan bisa sedikit memiliki niat guna masuk ke dalam dunia sastra itu sendiri.
Jikalau berbicara perihal kampanye, bukankah hal ini sudah biasa dilakukan, dimulai dari taraf komunitas kecil tingkat kelurahan, kecamatan, universitas, sekolahan-sekolahan, masyarakat umum, dan lembaga pemerintahan?
Jika sudah berjalan dan berlangsung hingga saat ini, untuk apa mencantumkan program yang telah berlangsung? Bukankah harusnya kita evaluasi di mana letak kesalahan dari proyek-proyek tersebut? Lebih-lebih, jika membicara komunitas baca dan diskusi itu sendiri, se-pendek-pengetahuan saya, hal tersebut sudah amat ramai terjadi di mana-mana, bahkan di setiap komunitas punya keunikan yang berbeda-berbeda sehingga menjadikan keberagaman tersendiri antara satu dengan lainnya.
Kelima, Lomba menulis guna melahirkan penulis baru. Kata tersebut, bagi banyak penulis-penulis yang menjamur saat ini mungkin dianggap lelucon siang bolong. Pasalnya, perlombaan menulis itu sudah berlangsung hingga saat ini, bahkan ajang tersebut telah dilakukan di area Kota-Provinsi. Namun, sampai detik ini kelahiran penulis baru hakikatnya hanya temporer.
Entah karena minim apresiasi atau bahkan mutu dari tulisan yang dihasilkan lebih jelas tanyakan kepada kritikus sastra. Lebih-lebih terkait hal demikian, bukankah sudah banyak kajian yang menjelaskan bahwa kehadiran yang dibutuhkan tak hanya perlombaan dan kelahiran pengarang? Bukankah dalam banyak diskusi banyak dikatakan ini bisa dipercayai sebagai ketidaksiapan kita menghadapi tantangan jaman sehingga pola dan metode yang digunakan sedikit agak lain guna menembus orientasi yang diharapkan?
Misalnya, bukankah penulis baru saat ini sudah banyak? Jika belum, apa standarasi seseorang layak dikatakan sebagai penulis? Lebih-lebih, siapa yang membuat dan menetapkan sertifikasi seseorang disebut sebagai penulis? Apakah ada kemungkinnan yang dibutuh tak sekadar kelahiran penulis baru, melainkan memlihara penulis yang telah ada hingga mendapatkan haknya sehingga penulis tersebut bisa terus dikembangkan menjadi yang harus dan semestinya? Lebih-lebih, jika memang ada nantinya penulis baru yang diharapkan pada program ini, untuk apa? Dapatkah penulis itu menjawab tantangan zaman? Atau hanya melahirkan satu jenis dan fungsi yang sama sehingga tak menjadikan keberagaman itu sendiri?
Parahnya, di mata masyarakat, apa pentingnya seorang penulis? Diposisi yang bagaimana penulis itu diperlakukan dan dihargai? Belum lagi, nanti jika melihat beberapa kelompok-kelompok penulis, ada yang status hidupnya sahaja dan di bawah sahaja. Apa tak ada perbincangan perihal demikian? Kenapa harus ada penulis baru? Apakah dengan memenangkan sebuah perlombaan penulis baru itu bisa diuji dikhalayak umum?
Keenam, penyebaran sastra melalui media-media masa kini. Bukankah hal demikian telah dilakukan sejak lama? Dari Era kertas ke digital, bukan hal demikian telah ada sejak istilah sastra cyber diperkenalkan di muka umum? Apakah hal-hal yang telah berlangsung saat ini belum dikatakan efektif? Penyebarluasan karya-karya di media baru ini, bukankah telah berjalan signifikan sebagaimana yang bisa kita lihat dengan jelas, misalnya dari hal sederhana yang popular yakni dari book menjadi elektronik book. Bukankah begitu?
Perihal analisis mendalam yang dicanangkan, agaknya itu amat penting dan memang penting melihat banyak karya yang berkeliaran bebas tanpa analisis mendalam. Namun, sudahkah pemerataan dan pembekalaan soal pisau bedah guna menganalisis mendalam telah dikampanyekan secara terstruktur, sistematis, dan massif ke pelbagai kalangan?
Ketujuh, Apa pentingnya festival sastra di era digital? Seberapa urgensi hal demikian dilangsungkan? Seberapa signifikan antusiasme? Lebih-lebih hal-ihwal yang berkaitan dengan festival itu sendiri, bukankah telah dilangsungkan juga di kalangan komunitas sastra itu sendiri? Kira-kira jika membicarakan festival pastilah ada anggarannya. Nah… apakah biaya festival itu lebih murah daripada yang diselenggarkan oleh komunitas? Lebih-lebih, apakah biaya festival itu lebih urgensi daripada biaya pendidikan mengenai sastra itu sendiri?
Kedelapan, Sebagaimana intisari dari program ini adalah alih wahana dari yang analog menjadi digital. Dipaparkannya bahwa kedelapan adalah soal publikasi karya sastra. Perihal ini agaknya lagi-lagi ini keterlambatan yang direncakan atau memang disengajakan? Bukankah hal demikian bisa dikatakan seperti pahlawan di siang bolong? Mempublikasikan karya di platform digital adalah hal yang sudah berlangsung saat ini, dari taraf komunitas kecil sampai yang besar, sehingga apakah perlu mengkampanyekan hal yang sudah berlangsung saat ini? Tak perlu disebutkan satu-persatu platform digitalnya, agaknya semua orang tahu bahwa hal itu sudah ada dan bahkan sudah dikatakan semua penulis dan penerbitan buku telah menggunakan platform digital. Belum lagi, jika memang harus ada, apakah akan berbeda dengan milik penerbit swasta? Apa keunggulannya? Berapa banyak biaya yang akan digelontorkan guna menjalankan progam tersebut?
Kesembilan, Membuat kelas kreatif. Hal tersebut amat baik dan benar jika diprogramkan dengan baik dan benar pula. Di sini tak akan dipaparkan lebih dalam dan luas perihal demikian, karena pada kenyataan kelas kreatif hanya meninggalkan memoir kenangan yang bisa dan gampang dilupakan begitu saja. Lebih-lebih kita sudah telanjur memonopoli privilege setiap individu atas kreativitas itu sendiri.
Maksudnya, dari keberagaman kreatif yang terbentang di cakrawala karya sastra milik tiap-tiap pengaran, atau calon pengarang, hanya beberapa privilege kreatif yang diwadahi sehingga yang lainnya terlantar begitu saja. Bukankah inilah kenyataan? Jika itu kesalahan pandang belaka, dari banyaknya kelas kreatif dan berhasil menghasilkan perindividu yang kreatif juga, apakah wadah-wadah berikutnya yang lebih nyata di hadapan industri dan masyarkat telah disediakan? Apakah sudah dipikirkan perihal demikian? Agaknya, setiap manusia punya privilege kreatif yang unik-ciamik jika dibedah satu-persatu sub-sub temuannya, tapi siapa yang mau menjelajahi hal demikian? Bagaimana? Kebodohan ini mungkin harus dijawab dengan sesederhana sehingga mendapat satu jawaban konkret.
Kesepuluh, Pembelajaran di dunia pendidikan. Program ini harusnya berada di nomor wahid sehingga bila berhasil diterapkan di dunia pendidikan, para pembelajar akan menyebarluaskan hasilnya kepada khalayak umum. Agaknya ini juga tak perlu dibicarakan panjang kali lebar, sebab para akademik sudah dan memang harus tahu posisinya sebagai pembejalar sastra sehingga dengan semestinya ia dapat berkembang dan terus berkembang. Meskipun hal demikian seperti utopis, tapi tak mengapa sekali-sekali optimis perihal demikian.
Kesebelas, Lagi-lagi hanya mengulani poin-poin program di atas, yaitu membuat platform digital. Tak perlu diperjelas lebih dalam dan luas, karena itu amat buang-buang waktu.
Melihat paparan poin-poin satu sampai sebelas, apakah perlu didiskusikan ulang hal-hal yang tak perlu dan mubazir itu? Lebih-lebih mengapa sederet tokoh sastra tak diundang guna membicarakan hal demikian. Apakah dengan hanya membuat maksud baik sehingga karya sastra, sastra, dunia sastra, dan masyarakat sastra bisa sahaja dengan sim-la-bim begitu saja? Apakah hal demikian layak dikatakan sebagai maksud baik? Jika itu maksud baik untuk siapa? Masyarakat sastra yang mana? Apa titik tekan maksud baiknya? Mohon dijawab dengan sederhana perihal pertanyaan bodoh itu, karena orang bodoh ini butuh jawaban yang jelas dan sederhana sehingga tak muncul pertanyaan bodoh macam ini.
Hidup sastra, tapi untuk apa?
BalasHapus