Sumber Daya Pikiran - Faktor utama penyebab terjadinya praktik money politik di Indonesia sebenarnya cukup luas, tapi paling tidak terdapat 3 faktor utama yang menjadi acuan saya untuk membahas fenomena tersebut, ialah dominasi kemiskinan, dominasi kekayaan (kapitalisme), dan praktik feodalisme.
Kemiskinan merupakan realitas kelam yang terjadi di masyarakat dominan, telah menjadi pemicu bagi setiap mereka untuk melakukan segala hal yang dapat membantu dan menopang kehidupan mereka sehari-hari. Fenomena tersebut disadari oleh masyarakat kapitalisme sebagai peluang untuk mengisi kehampaan hidup mereka dengan kekuasaan atas kekayaannya. Selain itu paradigma feodalisme di Indonesia yang semakin menjamur juga menjadi pemicu kuat bagi keterpurukan mereka, seolah-olah fenomena tersebut merupakan anugerah untuk menjawab keadaan kemiskinan yang tengah mereka hadapi.
Apabila hendak dibicarakan lebih luas, praktik money politik ini tidak hanya sedang terjadi di Indonesia saja, melainkan juga dibeberapa negara di Asia Tenggara, seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand. Namun dalam penjelasan lebih lanjut, saya tidak ingin memperluas pembahasan terkait bagaimana praktik money politik di negara-negara tersebut. Dalam hal ini pembahasan hanya berlatar di Indonesia.
Selain faktor utama dari penyebabnya praktik money politik ini terjadi, juga terdapat beberapa keadaan dan faktor pendukung, seperti loyalitas tim sukses, serangan fajar sebagai primadona masyarakat, kutu demokrasi, dan masyarakat feodalisme yang menahkodai stabilitas praktik tersebut, yang akan saya kembangkan dalam beberapa sub pembahasan dibawah ini.
Bukan Sekedar Tergadainya Loyalitas
Ada satu hal yang hari ini menjadi amat sakral dimasyarakat selain perihal loyalitas politik. Momen ini terjadi di daerah Aceh, dimana tim sukses kabur saat mengetahui calon kandidat pemimpin ternyata miskin. Dari fenomena tersebut dapatlah dikatakan bahwa selain hanya loyalitas ada prinsip pikiran demokrasi yang tidak tertaut di setiap kepala tim sukses, bahkan saya amat meyakini hal ini juga tidak ada di dalam kepala setiap calon pemimpinnya.
Banyak dari calon kandidat pemimpin yang sebenarnya tidak memenuhi standar pikiran demokrasi, hal ini menjadikan mereka tidak percaya diri untuk menang selain mengoptimalkannya dengan uang. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang diserang penyakit jiwa saat dihadapkan dengan kekalahan setelah sekian banyak uang dihabiskan. Pemicu besarnya ialah saat ongkos politik yang amat mahal di Indonesia, menyebabkan para calon harus mencari investor pengusung bagi mereka untuk bersedia menghutangi.
Ini membuktikan sesungguhnya ketidakmampuan pikiran calon pemimpin. Hal tersebut justru tidak akan terjadi apabila sejak awal mereka berdiri dengan pikiran demokrasi yang telah matang. Fenomena ini lebih miris terjadi selain dari realitas kemiskinan yang melandai masyarakat dominan!
Serangan Fajar Sebagai Primadona Masyarakat
Meskipun secara prinsip demokrasi, money politik jelas tidak dibenarkan sama sekali, akan tetapi hal inilah yang amat dinantikan masyarakat. Stabilnya angka kemiskinan menjadi alasan utama mengenai fenomena ini, dari sekian banyak proses transaksi money politik masyarakat miskin selalu menjadi objek yang paling diperhatikan oleh para pelaku. Mereka akan menawarkan sejumlah uang dan bahan baku yang sebenarnya tidak begitu besar dan tidak cukup untuk hidup yang jangka panjang.
Biasanya rata-rata uang yang diberikan adalah 100,000/pemilih yang kemudian dirangkum dalam 1 kartu keluarga, apabila sekeluarga terdapat 4 pemilih maka mereka akan mendapatkan 400,000. Apabila calon kandidat menang dan kemudian menjalankan kekuasaan selama 5 tahun, jika dikalkulasikan dalam 1 bulan 1 pemilih hanya mendapatkan uang kurang lebihnya 1,550 Rupiah, sementara mereka di gaji di kisaran angka 100 juta perbulan.
Masyarakat miskin yang dihadapkan dengan fenomena tersebut, menganggap hal ini normal terjadi dan merupakan anugerah yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Bagi mereka memang sedikit, akan tetapi setidaknya dapat membantu untuk sementara waktu. Jangankan untuk kelayakan hidup, sebelumnya mereka telah dihadapkan dengan situasi sulitnya mencari pekerjaan, makan dan semangat untuk hidup.
Inilah fenomena material dalam analisis Marx yang disebut Alienasi, keadaan keterasingan. Proses terasingnya diri sendiri sebagai manusia (man’s species-being). Meskipun alienasi dalam analisis sebenarnya Marx ini mengacu pada proses eksploitasi pekerja, dimana setiap pekerja merasa terasing dari diri mereka sendiri bahkan sosial disekitarnya. Namun dalam hal ini saya melihat terdapat beberapa kesamaan diantara keduanya yaitu proses alienasi yang disebabkan oleh sistem kerja dan money politik, dimana setiap masyarakat yang dihadapkan dengan momentum pemilu beriringan dengan keadaan kemiskinan, membuat mereka seolah-olah tidak ada lagi pilihan lain, dan kapitalisme sama-sama menjadi subjek pelakunya. Selain itu secara objek konsumennya cenderung tertuju pada masyarakat kelas bawah, hal ini persis seperti proses produksi kapitalisme yang menjadikan masyarakat kelas bawah sebagai targetnya.
Hal tersebut merupakan ilustrasi perampasan ruang hidup masyarakat bernegara dengan hak atas kelayakan hidupnya. Keadaan dimana hak mereka dalam bernegara telah di rampas. Sementara masyarakat dengan kelas atas sewenang-wenang mempermainkan kekuasaan dengan uangnya.
Sampai disini pembahasan mengenai peran yang bekerja atas stabilitas praktik money politik mungkin belum begitu tergambar jelas. Maka akan saya lanjutkan dengan meringkasnya menjadi 2 bagian, yang juga sudah saya kembangkan dibawah ini.
Kutu-Kutu Demokrasi
Demokrasi pada dasarnya adalah pertarungan pikiran, ide dan gagasan, bukan pertarungan kekayaan, dan masyarakat kapitalisme adalah sekumpulan kutu-kutu di kepalanya.
Kembali pada realitas ongkos politik yang begitu besar di Indonesia, menuntut untuk para calon kandidat mencari para donatur/investor (dalam hal ini saya lebih setuju apabila kita sebut sebagai investor saja, sebab panggilan donatur sepertinya tidak tepat). Yang berperan sebagai investor ini biasanya adalah masyarakat yang memiliki skala kekayaan di sekitar 80% dari kekayaan negara atau daerahnya sendiri, inilah yang disebut masyarakat kapitalisme. Meskipun juga terdapat beberapa dari mereka tidak mencapai kekayaan hingga persenan tersebut, inilah golongan yang di sebut kapitalisme kecil.
Kedudukan kekuasaan dalam politik bagi mereka amat penting untuk kelicinan urusan perdagangan mereka dalam masa waktu yang cukup panjang yaitu 5 tahun kedepan. Dengan begitu mereka juga akan berbondong-bondong mencari calon kandidat yang layak untuk mewakili kepentingan mereka, bahkan tidak sedikit dari mereka memanfaatkan keluarga sendiri untuk dikandidatkan, sebut saja saudara kandungnya, saudara persepupuannya bahkan anak mereka sendiri. Tentu saja dari fenomena ini dalam hal kurasi intelektual mereka tidak akan memperhitungkan isi pikiran demokrasi dari setiap calon kandidat yang diusungnya.
Mereka inilah yang kemudian saya maksud dengan kutu-kutu demokrasi! sekumpulan kutu! sekeluarga kutu! dan peranakkan kutu!
Masyarakat Feodalisme
Salah satu ciri dari masih bertelurnya feodalisme adalah masyarakatnya yang senang di beri sedikit oleh penguasa.
Jika kapitalisme terbagi menjadi 2 golongan yaitu, kapitalisme besar dan kapitalisme kecil, maka ini menjadi acuan untuk dapat saya pecah kembali kutu-kutu demokrasi menjadi kutu besar dan kutu kecil. Akan tetapi di tahap ini (kutu kecil) tidak pernah mendapat kesempatan untuk menghisap darah dari kepala demokrasi, melainkan mereka (kutu kecil) selalu hanya diberikan sisa dari perampasan yang di lakukan kutu besar (masyarakat kapitalisme). Masyarakat golongan ini biasanya masih sangat kental dengan warisan feodalismenya, dengan biasa bersikap manut kekuasaan, hormat kekayaan, dan takut kesusahan. Ketidakmandirian mereka secara manusia yang memiliki nilai dari prinsip yang mereka pegang justru menjadi peluang target konsumen bagi masyarakat kapitalisme dominan untuk dijadikan objek produksi kepentingan mereka.
Meskipun munculnya feodalisme di awal abad ke-17 tidak semata-mata seperti yang terjadi saat ini, dimana pada saat itu hak atas tanah dari kaum bangsawan diberikan oleh raja, dan sebagian besar rakyat kecil bekerja atas mereka dengan upah yang cukup. Ini hanya persoalan transisi peran subjek pertama dialihkan ke peran subjek kedua yang mana gambaran seorang raja adalah negara itu sendiri dan masyarakat kapitalisme adalah bangsawannya. Maka inilah yang disebut feodalisme dalam demokrasi. Kesuksesan suatu negara demokrasi hanya akan terjadi disaat masyarakatnya tidak lagi mempertelurkan feodalisme!.
Daftar Bacaan
https://ugm.ac.id/id/berita/8264-politik-uang-masih-warnai-pemilu-di-asia-tenggara/
https://indoprogress.com/2018/08/konsep-alienasi-keterasingan-dan-sejarahnya/