Sumber Daya Pikiran - Industri dapat dimaknai berbagai hal, apakah itu sebuah pola produksi berulang yang menghasilkan komoditas, ataukah sebuah pengelompokan dari pasar bagi konsumen yang saat ini memainkan peran penting dalam membentuk struktur ekonomi global. Dalam kajian ekonomi, industri selalu menjadi objek yang menarik untuk dibahas, karna kedua hal ini ke depannya akan saling berkaitan.
Industri dapat memiliki dampak
besar pada kondisi ekonomi dan sosial suatu wilayah, untuk itu model analisa
pembangunan negara selalu memasukan angka pertumbuhan industri dan penyerapan
tenaga kerja dari industri lokalnya, baik itu industri yang berskala besar,
maupun industri yang masih berada di taraf UMKM.
Pertumbuhan industri yang
terpublikasi dengan baik dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
pendapatan daerah, dan mendukung pembangunan ekonomi nasional. Di sisi lain, dampak
pada penurunan kegiatan industri dapat berdampak negatif pada lapangan kerja,
penurunan tingkat ekonomi daerah dan kestabilan ekonomi bagi masyarakat nasional.
Secara lokal ataupun global,
industri adalah topik kajian pertama yang dibahas dalam melakukan daur ulang kesejahteraan,
karena masyarakat global sepakat kalau pembangunan di tingkat lokal akan terjadi
dengan dihadirkannya insentif bagi pengusaha, salah satunya adalah kemudahan
dalam perizinan usaha dan kemudahan
lainnya untuk melakukan bisnis.
Dalam kegiatan berbisnis ini, ada
sebuah kepatuhan yang disepakati oleh setiap otoritas, bahwa perizinan penting dalam melakukan kegiatan
operasional dari sebuah usaha. Perizinan ini mencakup transparansi perusahaan
dalam kegiatan industrinya, yang dapat mudah dikategorikan sebagai kegiatan
yang legal ataupun illegal. Sedangkan dalam regulasi ini negara juga akan
memainkan peran dengan mengambil sedikit persentase keuntungan untuk diambil
sebagai pajak pendapatan.
Secara semiotik, "legalitas" menunjukan signifikasi hukum ataupun keabsahan sebuah tindakan. Simbol-simbol lain menunjang pemberlakuan dari penyematan identitas ini. Persuratan hukum seperti, undang-undang, peraturan, dan dokumen resmi dapat merepresentasikan "legalitas" sebagai sebuah perwujudan.
Begitu halnya dengan kata illegal, dengan "il-" yang menunjukkan negasi atau kebalikan, dan "-legal" yang merujuk pada sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum. Dengan demikian, 'illegal' merujuk pada sifat atau keadaan yang tidak sah atau melanggar hukum.
Dalam konteks linguistik, kata 'legalitas' juga dapat diuraikan menjadi morfem-morfemnya, seperti "legal" yang merujuk pada hal-hal yang sesuai dengan hukum atau peraturan, dan sufiks "-itas" yang menunjukkan sifat atau kualitas. Karenanya, 'legalitas' merujuk pada standar yang sesuai dengan hukum ataupun peraturan dalam perundang-undangan.
Aspek fonologis dari dua kata tersebut merupakan bagian dalam analisis semiotika. Kata 'legal' memberikan nuansa otoritas terkait dengan konteks hukum yang berlaku. Adapun kata 'illegal' memberikan nuansa ketidaktaatan dan pelanggaran terhadap norma hukum.
Analisis semiotika terhadap kata 'legalitas' menunjukan bahwa kata 'legal' dan illegal. Makna yang terkandung dalam simbol-simbol, struktur linguistik, dan konvensi fonetik yang terkait dengan hukum dan keabsahan.
Dalam dunia bisnis, tanda-tanda
dan simbol memegang peranan penting dalam menciptakan narasi tentang legalitas
dan ilegalitas suatu industri. Tanda-tanda seperti perizinan resmi, logo, dan
label berkualitas menjadi simbol-simbol yang merujuk pada legalitas suatu
industri.
Seperti yang kita tahu, industri
legal adalah industri yang diakui sah secara hukum dan tidak melanggar
batasan-batasan norma di masyarakat atau tidak mengakibatkan kerugian negara.
Belakangan, merebaknya isu mafia perizinan yang didalangi oleh
instrument-instrumen kekuasaan, berdampak pada kepercayaan publik dalam
mengikuti dinamika perizinan dan penegakan hukum.
Di sisi lain, tidak adanya
perizinan, kegiatan operasional yang bersifat rahasia, dan identitas
tersembunyi menjadi tanda-tanda industri tersebut dapat dikatakan sebagai
industri illegal. Dalam perspektif semiotik, kita dapat mengkaji bagaimana
tanda dan makna memainkan peran dalam mengidentifikasi batas antara industri
legal dan illegal.
Dalam industri yang resmi, tentu
saja pemilik usaha memiliki dokumen dengan lambang negara atau lembaga
pemerintah yang menunjukan fungsi operasional yang diakui sah secara hukum.
Logo dan label yang baik, yang memberikan
kredibilitas bagi konsumen yang ingin menggunakan jasanya.
Namun, di sisi lain juga terdapat banyak industri gelap yang bergerak secara ilegal. Alasan kenapa mereka
dilabeli sebagai industri illegal tentunya berkenaan dengan tidak terdapatnya
dokumen perizinan yang diakui oleh negara, adanya praktik bisnis rahasia yang
dilakukan oleh karyawan-karyawan yang tidak memiliki identitas yang jelas, dan
bisnisnya bergerak tanpa pengawasan dari pemerintah.
Di sisi lain, industri illegal
seringkali terkait dengan fenomena korupsi dalam penegakan hukum. Korupsi yang
dalam penerapannya menggunakan sogokan uang untuk menggoyahkan fondasi moralitas dan keadilan dari para aparat,
pada gilirannya akan menciptakan paradigma sosial baru dalam masyarakat. Masyarakat
akan lebih bersikap konformis pada perilaku curang dan praktik koruptif. Ketika
industri illegal memberikan "pajak" melalui sogokan kepada aparat penegak
hukum, hal ini memulai ketidaksetaraan dalam keadilan.
Konsep hukum, termasuk label legal
dan ilegal, dipahami sebagai konstruksi sosial yang melibatkan penentuan norma
dan aturan oleh masyarakat, dalam bernegara label ini disematkan oleh negara
dalam hal perizinan usaha. Sedang, dalam semiotika, aturan hukum diwakili oleh
tanda-tanda seperti kata-kata dalam undang-undang, simbol-simbol tertentu, dengan
melakukan identifikasi terhadap tindakan-tindakan tertentu sebagai legal atau
ilegal.
Industri legal terkait erat
dengan konsep perpajakan pendapatan. Pemerintah menggunakan perizinan sebagai
alat untuk mengatur industri dan sekaligus sebagai sarana untuk mengumpulkan
pajak dari para pengusaha. Pajak ini dianggap sebagai kontribusi warga negara
kepada negara dalam rangka menyelenggarakan pelayanan publik di tingkat
pemerintahan.
Kesepakatan sosial menentukan
apakah sesuatu dianggap legal atau ilegal. Pandangan bahwa status legal atau
ilegal suatu tindakan tidaklah bersifat mutlak atau inheren. Artinya, apa yang
dianggap ilegal dalam satu konteks masyarakat mungkin tidak dianggap ilegal
dalam konteks masyarakat lainnya. Penggunaan bahan-bahan psikotropik diizinkan
di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, namun tidak diizinkan di Banyak
negara di Asia Tenggara.
Selain dalam pandangan medis,
penggunaan obat-obatan ini buruk bagi ekonomi nasional, bagaimana tidak? Industri
psikotropika yang maju lahir di negara-negara yang melegalkannya. Apabila itu
terjadi, akan banyak aliran uang dalam negeri yang berpindah keluar dan
menciptakan inflasi keuangan.
Pendekatan semiotika terhadap konsep legal dan ilegal juga mencerminkan
bahwa keputusan tentang apa yang dianggap legal atau ilegal didasarkan pada
kekuasaan dan otoritas. Tanda-tanda legalitas atau ilegalitas diterapkan oleh
lembaga-lembaga atau pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk menentukan norma
dan aturan, dalam hal ini adalah lembaga kekuasaan dan penegakan hukum.
Sistem hukum seringkali digunakan untuk mempertahankan
kepentingan tertentu. Kebenaran dan kebaikan sering menjadi objek yang relatif,
karena dalam beberapa hal kalah oleh kepentingan dari pihak-pihak terdekat dari
para penguasa. Semiotika memandang bahwa
simbol-simbol yang merekat pada hukum juga dapat disalah artikan dan
dimanipulasi, bergantung pada seberapa kokoh kekuasaan bergantung pada keadilan
dan kebenaran. Dalam hal ini apapun yang dianggap legal atau ilegal dapat
dipengaruhi oleh interpretasi dan konteks, dan juga faktor penguasa.
Industri legal memiliki kewajiban
untuk melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) atau sebuah konsep tanggung jawab sosial dari perusahaan untuk
masyarakat, yang menekankan kewajiban perusahaan untuk berkontribusi positif
pada masyarakat. Secara filosofis, keberadaan industri legal seharusnya
memberikan manfaat lebih dari sekadar keuntungan finansial, dengan melibatkan
keseimbangan antara kepentingan bisnis dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat
yang terdampak pada industri tersebut.
Makna yang melekat pada sebuah benda ataupun praktik kegiatan tertentu hadir berdasarkan paradigma, atau pandangan yang melekat berdasarkan kesepakatan sosial. Perizinan yang dilakukan oleh negara dianggap sebagai bukti kredibilitas dari sebuah produk komoditas, sementara sebuah industri tanpa dokumen resmi dan perizinan dianggap sebagai produk illegal dan memiliki resiko keamanan apabila kita mengkonsumsi atau menggunakannya. Dalam hal ini, semiotik membantu kita memahami bahwa legalitas dan illegalitas tidak hanya terkait dengan status hukum, tetapi juga dengan cara masyarakat menginterpretasikan tanda-tanda yang ada.