Memahami Makna Legalitas dan Illegalitas dalam Perspektif Semiotika

Ilustrasi - Pixabay

Sumber Daya Pikiran - Industri dapat dimaknai berbagai hal, apakah itu sebuah pola produksi berulang yang menghasilkan komoditas, ataukah sebuah pengelompokan dari pasar bagi konsumen yang saat ini memainkan peran penting dalam membentuk struktur ekonomi global. Dalam kajian ekonomi, industri selalu menjadi objek yang menarik untuk dibahas, karna kedua hal ini ke depannya akan saling berkaitan.

Industri dapat memiliki dampak besar pada kondisi ekonomi dan sosial suatu wilayah, untuk itu model analisa pembangunan negara selalu memasukan angka pertumbuhan industri dan penyerapan tenaga kerja dari industri lokalnya, baik itu industri yang berskala besar, maupun industri yang masih berada di taraf UMKM.

Pertumbuhan industri yang terpublikasi dengan baik dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan daerah, dan mendukung pembangunan ekonomi nasional. Di sisi lain, dampak pada penurunan kegiatan industri dapat berdampak negatif pada lapangan kerja, penurunan tingkat ekonomi daerah dan kestabilan ekonomi bagi masyarakat nasional.

Secara lokal ataupun global, industri adalah topik kajian pertama yang dibahas  dalam melakukan daur ulang kesejahteraan, karena masyarakat global sepakat kalau pembangunan di tingkat lokal akan terjadi dengan dihadirkannya insentif bagi pengusaha, salah satunya adalah kemudahan dalam perizinan usaha  dan kemudahan lainnya untuk melakukan bisnis.

Dalam kegiatan berbisnis ini, ada sebuah kepatuhan yang disepakati oleh setiap otoritas, bahwa  perizinan penting dalam melakukan kegiatan operasional dari sebuah usaha. Perizinan ini mencakup transparansi perusahaan dalam kegiatan industrinya, yang dapat mudah dikategorikan sebagai kegiatan yang legal ataupun illegal. Sedangkan dalam regulasi ini negara juga akan memainkan peran dengan mengambil sedikit persentase keuntungan untuk diambil sebagai pajak pendapatan.

Secara semiotik, "legalitas" menunjukan signifikasi hukum ataupun keabsahan sebuah tindakan. Simbol-simbol lain menunjang pemberlakuan dari penyematan identitas ini. Persuratan hukum seperti, undang-undang, peraturan, dan dokumen resmi dapat merepresentasikan "legalitas" sebagai sebuah perwujudan.

Begitu halnya dengan kata illegal, dengan "il-" yang menunjukkan negasi atau kebalikan, dan "-legal" yang merujuk pada sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum. Dengan demikian, 'illegal' merujuk pada sifat atau keadaan yang tidak sah atau melanggar hukum.

Dalam konteks linguistik, kata 'legalitas' juga dapat diuraikan menjadi morfem-morfemnya, seperti "legal" yang merujuk pada hal-hal yang sesuai dengan hukum atau peraturan, dan sufiks "-itas" yang menunjukkan sifat atau kualitas. Karenanya, 'legalitas' merujuk pada standar yang sesuai dengan hukum ataupun peraturan dalam perundang-undangan.

Aspek fonologis dari dua kata tersebut merupakan bagian dalam analisis semiotika. Kata 'legal' memberikan nuansa otoritas terkait dengan konteks hukum yang berlaku.  Adapun kata 'illegal' memberikan nuansa ketidaktaatan dan pelanggaran terhadap norma hukum.

Analisis semiotika terhadap kata 'legalitas' menunjukan bahwa kata 'legal' dan illegal. Makna yang terkandung dalam simbol-simbol, struktur linguistik, dan konvensi fonetik yang terkait dengan hukum dan keabsahan.

Dalam dunia bisnis, tanda-tanda dan simbol memegang peranan penting dalam menciptakan narasi tentang legalitas dan ilegalitas suatu industri. Tanda-tanda seperti perizinan resmi, logo, dan label berkualitas menjadi simbol-simbol yang merujuk pada legalitas suatu industri.

Seperti yang kita tahu, industri legal adalah industri yang diakui sah secara hukum dan tidak melanggar batasan-batasan norma di masyarakat atau tidak mengakibatkan kerugian negara. Belakangan, merebaknya isu mafia perizinan yang didalangi oleh instrument-instrumen kekuasaan, berdampak pada kepercayaan publik dalam mengikuti dinamika perizinan dan penegakan hukum.

Di sisi lain, tidak adanya perizinan, kegiatan operasional yang bersifat rahasia, dan identitas tersembunyi menjadi tanda-tanda industri tersebut dapat dikatakan sebagai industri illegal. Dalam perspektif semiotik, kita dapat mengkaji bagaimana tanda dan makna memainkan peran dalam mengidentifikasi batas antara industri legal dan illegal.

Dalam industri yang resmi, tentu saja pemilik usaha memiliki dokumen dengan lambang negara atau lembaga pemerintah yang menunjukan fungsi operasional yang diakui sah secara hukum. Logo dan label yang baik, yang memberikan  kredibilitas bagi konsumen yang ingin menggunakan jasanya.

Namun, di sisi lain juga terdapat banyak industri gelap yang bergerak secara ilegal. Alasan kenapa mereka dilabeli sebagai industri illegal tentunya berkenaan dengan tidak terdapatnya dokumen perizinan yang diakui oleh negara, adanya praktik bisnis rahasia yang dilakukan oleh karyawan-karyawan yang tidak memiliki identitas yang jelas, dan bisnisnya bergerak tanpa pengawasan dari pemerintah.

Di sisi lain, industri illegal seringkali terkait dengan fenomena korupsi dalam penegakan hukum. Korupsi yang dalam penerapannya menggunakan sogokan uang untuk menggoyahkan fondasi moralitas dan keadilan dari para aparat, pada gilirannya akan menciptakan paradigma sosial baru dalam masyarakat. Masyarakat akan lebih bersikap konformis pada perilaku curang dan praktik koruptif. Ketika industri illegal memberikan "pajak" melalui sogokan kepada aparat penegak hukum, hal ini memulai ketidaksetaraan dalam keadilan.

Konsep hukum, termasuk label legal dan ilegal, dipahami sebagai konstruksi sosial yang melibatkan penentuan norma dan aturan oleh masyarakat, dalam bernegara label ini disematkan oleh negara dalam hal perizinan usaha. Sedang, dalam semiotika, aturan hukum diwakili oleh tanda-tanda seperti kata-kata dalam undang-undang, simbol-simbol tertentu, dengan melakukan identifikasi terhadap tindakan-tindakan tertentu sebagai legal atau ilegal.

Industri legal terkait erat dengan konsep perpajakan pendapatan. Pemerintah menggunakan perizinan sebagai alat untuk mengatur industri dan sekaligus sebagai sarana untuk mengumpulkan pajak dari para pengusaha. Pajak ini dianggap sebagai kontribusi warga negara kepada negara dalam rangka menyelenggarakan pelayanan publik di tingkat pemerintahan.

Kesepakatan sosial menentukan apakah sesuatu dianggap legal atau ilegal. Pandangan bahwa status legal atau ilegal suatu tindakan tidaklah bersifat mutlak atau inheren. Artinya, apa yang dianggap ilegal dalam satu konteks masyarakat mungkin tidak dianggap ilegal dalam konteks masyarakat lainnya. Penggunaan bahan-bahan psikotropik diizinkan di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, namun tidak diizinkan di Banyak negara di Asia Tenggara.

Selain dalam pandangan medis, penggunaan obat-obatan ini buruk bagi ekonomi nasional, bagaimana tidak? Industri psikotropika yang maju lahir di negara-negara yang melegalkannya. Apabila itu terjadi, akan banyak aliran uang dalam negeri yang berpindah keluar dan menciptakan inflasi keuangan.

Pendekatan semiotika terhadap konsep legal dan ilegal juga mencerminkan bahwa keputusan tentang apa yang dianggap legal atau ilegal didasarkan pada kekuasaan dan otoritas. Tanda-tanda legalitas atau ilegalitas diterapkan oleh lembaga-lembaga atau pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk menentukan norma dan aturan, dalam hal ini adalah lembaga kekuasaan dan penegakan hukum.

Sistem hukum seringkali digunakan untuk mempertahankan kepentingan tertentu. Kebenaran dan kebaikan sering menjadi objek yang relatif, karena dalam beberapa hal kalah oleh kepentingan dari pihak-pihak terdekat dari para penguasa. Semiotika memandang  bahwa simbol-simbol yang merekat pada hukum juga dapat disalah artikan dan dimanipulasi, bergantung pada seberapa kokoh kekuasaan bergantung pada keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini apapun yang dianggap legal atau ilegal dapat dipengaruhi oleh interpretasi dan konteks, dan juga faktor penguasa.

Industri legal memiliki kewajiban untuk melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) atau sebuah konsep tanggung jawab sosial dari perusahaan untuk masyarakat, yang menekankan kewajiban perusahaan untuk berkontribusi positif pada masyarakat. Secara filosofis, keberadaan industri legal seharusnya memberikan manfaat lebih dari sekadar keuntungan finansial, dengan melibatkan keseimbangan antara kepentingan bisnis dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang terdampak pada industri tersebut.

Makna yang melekat pada sebuah benda ataupun praktik kegiatan tertentu hadir berdasarkan paradigma, atau pandangan yang melekat berdasarkan kesepakatan sosial. Perizinan yang dilakukan oleh negara dianggap sebagai bukti kredibilitas dari sebuah produk komoditas, sementara sebuah industri tanpa dokumen resmi dan perizinan dianggap sebagai produk illegal dan memiliki resiko keamanan apabila kita mengkonsumsi atau menggunakannya. Dalam hal ini, semiotik membantu kita memahami bahwa legalitas dan illegalitas tidak hanya terkait dengan status hukum, tetapi juga dengan cara masyarakat menginterpretasikan tanda-tanda yang ada.

Lebih baru Lebih lama