Rekonsiliasi atas Konflik Israel-Palestina dengan Pendekatan Postkolonial

Ilustrasi - AFP

Sumber Daya Pikiran - Konflik Israel-Palestina adalah sebuah periode pertarungan historis yang melibatkan banyak fase transisi kepemilikan wilayah dan pertarungan politik di banyak forum internasional. Namun, mengingat bahwa Palestina adalah sebuah wilayah suci dari tiga agama, maka bukan hanya karena sengketa tanah dan kekuasaan, namun juga melibatkan berbagai diskursus kepentingan kelompok dan politik yang akan melibatkan lapisan-lapisan budaya, agama, dan identitas yang terus memperdalam perdebatan seiring panjangnya konflik yang terjadi diantara pihak-pihak yang bersengketa.

Pertarungan yang terjadi antara Israel dan Palestina tidak hanya mencakup pertarungan mempertahankan teritori wilayah, tetapi juga melibatkan berbagai isu kompleks yang perlu ditelaah secara lebih mendalam yang sampai hari ini menyita perhatian dunia. Konflik ini telah melibatkan perdebatan lintas generasi tentang “siapa yang benar?” dan “apa yang benar?”, lalu “siapa yang salah?” dan “bagaimana meresolusi kebijakan yang terbukti salah?”

Alasan yang paling utama adalah kematian dari jiwa-jiwa yang tidak bersalah, dari masyarakat sipil yang tidak secara langsung berkecimpung dalam dunia politik, tapi perlu menjadi korban jiwa atas kebijakan yang salah, resolusi yang salah dan cara pandang yang salah dalam melihat konflik ini.

Pertama-tama, kita perlu melihat fakta bahwa konflik ini terakar dalam sejarah panjang yang dipenuhi ketegangan dan perubahan kebijakan. Sejak awal abad  ke-19 terlihat bahwa sekelompok Yahudi Eropa yang menamakan dirinya sebagai Zionis telah memunculkan wacana nasionalisme kelompok Yahudi di daratan Eropa, Sebuah pemikiran yang berusaha membangkitkan pemikiran untuk mendirikan negara bangsa Yahudi di wilayah Palestina, yang mana pada saat itu masih merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman.

Gerakan Zionisme, mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 di bawah pimpinan tokoh seperti Theodor Herzl, membawa gagasan untuk mendirikan "tanah air nasional bagi bangsa Yahudi." Pada masa itu, pemukiman Yahudi di Palestina mulai meningkat, mengundang gesekan dengan penduduk setempat Arab. Konflik ini memulai fase yang tidak biasa,  namun melibatkan pertarungan identitas dari masing-masing kelompok yang terbangun di atas klaim-klaim historis dan agama.

Perdebatan atas tanah menjadi representasi konflik dalam menyusun kembali narasi sejarah dan meretas identitas yang terkait erat dengan kepemilikan dari tanah Palestina. Ketegangan yang meruncing selama Perang Dunia I membuat ketegangan dari dua kelompok identitas agama ini semakin meruncing. Disusul oleh Liga Bangsa-Bangsa yang memberikan mandat kepada Britania Raya untuk mengelola wilayah Palestina pasca kekalahanan Ottoman di Perang Dunia Pertama.

Deklarasi Balfour yang diselenggarakan pada tahun 1917 menjadi batu loncatan, menetapkan dukungan Britania untuk "tanah air nasional bagi bangsa Yahudi." Deklarasi ini juga menciptakan kesenjangan dalam mengungkap landasan hak-hak yang diberikan kepada satu kelompok atas tanah yang juga diperebutkan sebagai teritori atas kelompok lainnya.

Dalam perdebatan siapa pemilik sah dari wilayah Palestina, perlu kiranya kita melihat konflik ini sebagai runtutan panjang dari poin-poin penting yang disederhanakan. Pertama adalah dengan  mengulas Tepi Barat dan Pemukiman, Status Yerusalem, Hak Pengungsi Palestina, serta Keamanan dan Terorisme dengan menggunakan perspektif post-kolonial yang digagas oleh cendekiawan terkemuka Edward Said.

Masalah wilayah Tepi Barat dan fenomena pemukiman yang terus berkembang. Dalam perspektif post-kolonial, Tepi Barat bukan hanya tanah konflik, tetapi juga simbol ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Pemukiman Yahudi yang terus tumbuh di Tepi Barat menjadi bukti langsung dari warisan kolonialisme, di mana tanah diambil dari penduduk asli.

Status Yerusalem menjadi semakin rumit, karena wilayah ini memiliki nilai historis keagamaan yang tinggi bagi berbagai kelompok. Dalam kerangka post-kolonial, perdebatan tentang Yerusalem melibatkan pertarungan identitas dan penguasaan budaya. Ketika Israel mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota yang tak terpisahkan, ini menciptakan dinamika penaklukan budaya dan merendahkan identitas Palestina.

The Question On Palestine (1979) adalah salah satu karya Edward Said yang paling cocok untuk mengulas isu-isu yang terjadi seputar konflik Israel-Palestina, yang  memberikan analisis kritis terhadap dimensi sejarah, politik, dan budaya dari konflik tersebut, serta menawarkan perspektif yang menantang narasi arus utama.

Dalam bukunya, Edward Said mengkaji dampak Zionisme dan berdirinya Negara Israel terhadap rakyat Palestina. Ia mengkritik penggambaran media Barat mengenai konflik tersebut dan menganjurkan pemahaman yang lebih bernuansa yang mempertimbangkan pengalaman Palestina. Buku ini juga membahas dampak konflik yang lebih luas terhadap Timur Tengah dan sekitarnya.

Said mengulas tentang bagaimana konflik tersebut tidak hanya menyangkut pertempuran fisik dan politik, tetapi juga melibatkan pertarungan untuk mendefinisikan narasi dan sejarah yang mengarah pada ketidaksetaraan yang mendalam. Pemberian Yerusalem kepada satu kelompok dengan mengesampingkan klaim kelompok lain tidak hanya menciptakan masalah politik, tetapi juga menjadi indikator dominasi budaya yang terus berlanjut.

Pemberian eksklusif atas Yerusalem menciptakan ketidaksetaraan dalam narasi sejarah. Ini adalah bentuk penjajahan budaya yang menjauhkan naratif sejarah dari pandangan yang adil dan inklusif. Narasi ini menjadi alat kekuasaan yang digunakan untuk memvalidasi klaim suatu kelompok dan menghapus atau merendahkan klaim kelompok lain. Dalam hal ini, pemberian eksklusif atas Yerusalem bukan hanya tindakan politik tetapi juga pernyataan dominasi budaya yang mengekang pemahaman bersama tentang warisan dan identitas kota suci ini.

Said menekankan bahwa penjajahan budaya tidak hanya terjadi melalui tindakan nyata seperti pemukiman dan pendudukan fisik, tetapi juga melalui manipulasi narasi dan sejarah. Yerusalem, sebagai pusat agama dan budaya yang signifikan, menjadi titik tekan utama dalam konstruksi naratif yang mendukung kebijakan dan tindakan politik. Menempatkan Yerusalem di bawah kontrol eksklusif satu pihak adalah bentuk penjajahan budaya yang menciptakan ketidaksetaraan dalam pembentukan identitas dan hak sejarah.

Dominasi budaya ini dapat diidentifikasi dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari, termasuk pendidikan, media, dan bahkan penggunaan bahasa. Penentuan bahasa resmi, presentasi sejarah, dan narasi keagamaan menjadi instrumen kekuasaan yang digunakan untuk mengokohkan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya. Said melihat bahwa penjajahan budaya menciptakan ketidaksetaraan dalam akses dan kendali terhadap produksi dan distribusi pengetahuan.

Dalam kaitannya dengan Yerusalem, penjajahan budaya menciptakan konsekuensi yang luas. Identitas kota tersebut menjadi terfragmentasi, dan warisan budayanya menjadi dipolitisasi untuk mendukung agenda politik. Ini bukan hanya tentang kontrol fisik atas tanah, tetapi juga tentang kontrol terhadap naratif yang membentuk persepsi global terhadap konflik ini.

Praktik pendirian pemukiman ini adalah kelanjutan dari praktik kolonial yang melegitimasi penjajahan dan mengorbankan hak-hak penduduk asli. Kebijakan yang dilakukan oleh inggris dengan memberikan kebijakan untuk mendirikan “Rumah bagi kaum Yahudi” adalah bagian dari mempertahankan struktur kekuasaan yang tidak merata yang ikut luluh lantah setelah perang dunia pertama.

Ketika kita mengamati Isu hak pengungsi Palestina, gambaran yang muncul membawa kita pada pemahaman mendalam tentang dampak kolonialisme terhadap kehidupan dan hak asasi manusia. Pengungsi Palestina, sebagian besar merupakan korban dari konflik berkepanjangan di Timur Tengah, menghadapi tantangan besar yang tidak hanya mencakup kehilangan rumah dan tanah, tetapi juga pengabaian hak-hak asasi manusia yang mendasar.

Pengungsi Palestina sering kali menjadi sasaran perlakuan yang tidak manusiawi, dihapuskan dari pusat perhatian politik dan hak asasi manusia utama. Mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal fisik tetapi juga kehilangan kedudukan dan pengakuan dalam lingkup hak-hak dasar.

Adalah suatu kenyataan yang menyakitkan melihat bahwa, sebagai masyarakat global, kita sering kali kurang peka terhadap narasi yang terpinggirkan. Hak-hak pengungsi Palestina tidak hanya menjadi masalah regional tetapi juga mencerminkan kebutuhan akan pandangan yang inklusif dan adil terhadap hak asasi manusia secara keseluruhan.

Pengabaian terhadap hak asasi manusia pengungsi Palestina menjadi bukti bahwa dalam arus informasi global dan pertarungan politik yang intens, suara-suara yang rentan dan terpinggirkan sering kali tenggelam. Kita dapat melihat bagaimana politik global cenderung mendominasi naratif, sementara pengalaman dan hak individu sering kali terpinggirkan.

Hak asasi manusia adalah hak universal, tanpa pandang suku, agama, atau etnisitas. Melihat pengungsi Palestina sebagai subjek hak asasi manusia membawa kita pada kesadaran bahwa penyelesaian konflik ini tidak hanya berkaitan dengan batasan wilayah atau kepentingan politik tetapi juga tentang penghormatan terhadap martabat dan hak setiap individu.

Sebagai masyarakat global, kita harus melampaui batasan-batasan regional dan menempatkan isu hak pengungsi Palestina dalam konteks hak asasi manusia secara keseluruhan. Pandangan yang inklusif dan adil adalah langkah pertama menuju pemahaman yang lebih mendalam dan solusi yang berkelanjutan.

Edward Said, sebagai seorang intelektual dan kritikus terkemuka, memberikan pandangan yang tajam terhadap dinamika politik dan keamanan dalam konflik Israel-Palestina. Salah satu poin utama yang ditekankannya adalah perlunya memeriksa dengan kritis siapa yang menentukan definisi terorisme, di mana tekanan dan ancaman sebenarnya berasal, serta bagaimana kebijakan keamanan diimplementasikan.

Said menyatakan bahwa, definisi terorisme sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik dan keamanan pihak yang berkuasa. Menurutnya, narasi dari media barat cenderung menempatkan keamanan mereka di atas hak-hak rakyat Palestina. Ini menciptakan sebuah ketidakseimbangan dalam penilaian terhadap tindakan keamanan dan terorisme, di mana keamanan satu pihak diutamakan tanpa memadukan perspektif dan hak-hak pihak lain.

Menempatkan keamanan di atas hak asasi manusia Palestina menciptakan dasar bagi justifikasi tindakan yang sering kali melanggar hak-hak dasar individu. Keamanan yang dikejar dengan mengesampingkan hak-hak dasar dan martabat manusia menjadi bentuk penjajahan dan diskriminasi yang terus berlanjut.

Edward Said juga menekankan perlunya memahami siapa yang terlibat dalam menentukan definisi terorisme. Seringkali, definisi ini dibentuk oleh pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu, dan hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam penilaian tindakan dan respons terhadap konflik. Dengan demikian, analisis yang cermat diperlukan untuk mengungkap dinamika kekuasaan dan pengaruh di balik penentuan definisi tersebut.

Kebijakan keamanan yang diimplementasikan tidak selalu netral atau adil. Keamanan yang ditempatkan di puncak hierarki nilai seringkali melupakan atau bahkan melanggar hak-hak rakyat yang lebih lemah. Ini menciptakan tantangan serius dalam mencapai perdamaian yang berkelanjutan dan adil di kawasan Palestina.

Manipulasi terhadap narasi dan kebijakan tentu sjaa merugikan kelompok tertindas, dan merugikan pihak yang lebih lemah dalam konflik. Ini menjadi panggilan untuk merangkul perspektif yang inklusif dan adil, di mana hak asasi manusia dan keamanan dianggap sejajar, bukan saling bertentangan.

Kita perlu secara lebih detail mengajukan pertanyaan kritis tentang siapa yang memiliki wewenang untuk menentukan siapa yang teroris dan siapa yang mempertahankan keamanan. Hal ini tentu saja perlu melibatkan kritik terhadap dominasi kekuasaan yang sewenang-wenang dan mengakui bahwa keamanan yang dikejar oleh satu pihak tentu saja datang dengan biaya hak-hak dasar yang dilanggar di pihak lain.

Perspektif post-kolonial membuka pintu untuk meresapi konflik Israel-Palestina melalui lensa yang lebih luas dan pendekatan yang lebih inklusif. Dalam pusaran isu-isu kompleks yang membelit, pendekatan ini menyerukan dialog untuk mencari solusi yang mencakup semua pihak tanpa harus menjawab pertanyaan, "Who is the boss?".

Perspektif Postkolonial melihat konflik yang terjadi melalui melebihi kepentingan pribadi dan fokus pada emansipasi manusia, keadilan sosial, dan perlindungan hak asasi manusia, dengan menghilangkan faktor dominasi atau kepemilikan.

Membangun dialog yang berlandaskan pada saling pengertian dan empati adalah sebuah langkah krusial meruntuhkan tembok pembatas dan membangun jembatan komunikasi di antara kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik ini.

Menggali sejarah dan memahami dampak kolonialisme, kita dapat menciptakan kesadaran bersama tentang kompleksitas isu-isu yang ada, mengingat bahwa konflik ini bukan hanya tentang tanah dan politik, namun juga melibatkan isu keadilan dan hak asasi manusia yang terus terabaikan. Perdamaian sejati tidak hanya mencakup pembagian wilayah atau kekuasaan politik tetapi juga melibatkan pemberian dan pengakuan hak-hak dasar setiap individu.

Pencarian solusi inklusif memerlukan penghapusan paradigma kekuasaan yang memandang satu pihak sebagai "boss" atau pemegang kendali. Dialog yang dibangun di atas landasan persamaan, penghargaan terhadap hak-hak dasar, dan keinginan untuk mencapai keadilan sosial adalah langkah penting untuk merobohkan tembok ketidaksetaraan dan menciptakan kesepakatan bersama. Emansipasi manusia dan keadilan sosial haruslah menjadi dasar utama, mengingatkan kita bahwa konflik ini juga berkaitan dengan hak setiap individu untuk hidup dengan martabat dan kebebasan.

Post-kolonial memberi kita ruang diskursus wacana dalam memandang konflik Israel-Palestina sebagai panggung di mana sejarah, budaya, dan hak asasi manusia bertemu, dengan tidak hanya terpaku pada klaim tanah dan politik, tetapi juga menggali keadilan dan hak asasi manusia sebagai pijakan utama. Perlunya rekonsiliasi atas konflik dibangun di atas pondasi  hak yang sama untuk hidup tanpa ketakutan dan keadilan yang merata, kita dapat bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik dan damai untuk semua pihak yang terlibat.

Lebih baru Lebih lama