Sumber Daya Pikiran - Banyak negara, termasuk Indonesia, mewarisi kurikulum dari masa penjajahan. Seringkali, kurikulum tersebut dirancang untuk memenuhi kepentingan penjajah, lebih daripada memperhatikan kebutuhan dan realitas lokal, yang menciptakan beberapa tantangan dalam sistem pendidikan di negara-negara berkembang pasca kolonial. Mengembangkan kurikulum yang mencerminkan keunikan budaya, sejarah, dan kebutuhan masyarakat setempat. Melibatkan elemen lokal dapat membantu siswa mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang lingkungan mereka, serta mempertahankan dan menghargai warisan budaya.
Reformasi pendidikan, termasuk perubahan dalam kurikulum, merupakan langkah penting untuk menjawab tantangan ini. Peningkatan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lokal, seperti komunitas, tokoh budaya, dan pemimpin masyarakat, dapat membantu menciptakan kurikulum yang lebih relevan dan inklusif.
Penyesuaian terhadap globalisasi dan perkembangan teknologi dalam merancang kurikulum. Mengintegrasikan keterampilan yang diperlukan dalam era modern, seperti keterampilan digital, kolaborasi global, dan pemecahan masalah, juga menjadi kunci dalam mempersiapkan siswa untuk masa depan yang berubah cepat.
Pendidikan yang berfokus pada pengembangan kritis, kreatif, dan etis juga penting dalam membentuk siswa menjadi individu yang berpikiran terbuka, mandiri, dan memiliki integritas. Dengan terus mengkaji dan memperbarui kurikulum, Indonesia dapat lebih baik memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat dan menciptakan generasi yang tangguh dan berdaya saing.
Tentu saja, ada upaya untuk reformasi dalam banyak negara pasca kolonial, tetapi perubahan seringkali lambat dan terhambat oleh berbagai tantangan politik, ekonomi, dan sosial. Kritik terhadap sistem pendidikan pasca kolonial perlu terus didengar dan diakomodasi untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inklusif, relevan, dan merangsang daya nalar untuk berkembang. Tujuannya? tentu saja menciptakan kualitas sumber daya manusia yang terdidik dengan karakter dan kepribadian bangsa, yang juga akan menuntun bangsa selangkah demi selangkah menjadi negara maju.
Sistem pendidikan pasca kolonial sering kali masih mempertahankan struktur dan kurikulum yang diwarisi dari masa penjajahan. Ini bisa menimbulkan beberapa masalah. Pertama, kurikulum yang tidak relevan dengan realitas sosial, budaya, dan ekonomi saat ini dapat menghambat pengembangan masyarakat. Kedua, dominasi bahasa asing dalam proses pembelajaran dapat merugikan perkembangan bahasa dan budaya lokal. Ketiga, adanya disparitas dalam akses pendidikan antara perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok sosial tertentu, dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam kesempatan pendidikan.
Selain itu, evaluasi prestasi seringkali bersifat normatif dan mengukur keberhasilan siswa berdasarkan standar Barat. Ini dapat mengabaikan keberagaman bakat dan potensi siswa yang mungkin tidak sesuai dengan parameter yang ditetapkan. Sistem evaluasi yang terlalu tekanan pada ujian standar juga dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang kurang menyenangkan dan kreatif. Namun, sejauh mana sistem pendidikan saat ini mencerminkan orientasi yang mendukung kelas yang berkuasa dan apakah pendidikan berperan sebagai alat reproduksi hegemoni sosial dan ekonomi?
Hal tersebut mungkin dapat dijawab dengan ragam perspektif. Namun secara lebih mendalam ada dua orang filsuf, yakni Antonio Gramsci dan Paulo Freire. Dua orang filsuf yang telah memaparkan pandangannya secara mendalam dan dalam konteks yang relevan untuk dijadikan kacamata dalam melihat fenomena yang terjadi di pendidikan Indonesia hari ini.
Salah satu masalah utama pendidikan Indonesia adalah kesenjangan dalam akses pendidikan. Meskipun ada kemajuan dalam meningkatkan akses pendidikan di berbagai tingkatan, kesenjangan sosial, ekonomi, dan geografis masih sangat nyata terjadi di tengah kita semua. Pelajar yang berasal dari wilayah perkotaan tentu saja memiliki akses yang lebih baik ke fasilitas pendidikan berkualitas, sementara mereka di pedesaan sering menghadapi tantangan seperti akses terbatas ke sekolah dan kurangnya sumber daya.
Kurikulum pendidikan di Indonesia rasanya kurang relevan dengan kebutuhan pembangunan sumber daya. Sistem pendidikan yang ada masih terjebak pada keinginan untuk membanjiri lapangan pekerjaan yang menghasilkan murid dengan kualitas pekerja, bukan murid dengan kualitas intelektual yang pada dasarnya dapat menjadi problem solver dari ragam permsalahan yang terjadi di negeri ini.
Kesenjangan sosial dan ekonomi juga tercermin dalam pendidikan di Indonesia. Siswa dari lapisan sosial yang lebih miskin sering menghadapi tantangan yang lebih besar untuk mendapatkan akses ke pendidikan berkualitas. Ini menciptakan lingkaran setan di mana ketidaksetaraan pendidikan memperkuat ketidaksetaraan ekonomi.
Dalam menghadapi tantangan masa depan, seperti revolusi industri 4.0 dan perubahan iklim global, kurikulum pendidikan di Indonesia harus memastikan bahwa siswa diberikan keterampilan dan pemahaman yang relevan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Ini termasuk pendidikan tentang teknologi, inovasi, keberlanjutan, dan perubahan sosial.
Antonio Gramsci, seorang filsuf politik Italia yang hidup pada awal abad ke-20, mengembangkan konsep hegemoni yang telah menjadi salah satu kontribusi paling berharga dalam pemikiran sosial dan politik. Hegemoni mengacu pada dominasi budaya, politik, dan ideologi suatu kelas sosial yang memungkinkan kelas tersebut untuk menjaga kendali atas masyarakat secara keseluruhan. Gramsci melihat hegemoni sebagai alat yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk mempertahankan status quo dan memastikan reproduksi kepentingan mereka.
Dalam konteks pendidikan, hegemoni dapat terjadi melalui penyatuan ideologi dan nilai-nilai yang mendukung kelas yang berkuasa. Ini mencakup pemeliharaan struktur kekuasaan yang ada dan mengontrol apa yang diajarkan dalam kurikulum sekolah. Di Indonesia, ada perdebatan tentang sejauh mana pendidikan mencerminkan ideologi dan nilai-nilai yang mendukung kapitalisme dan pemilik modal. Pendidikan sering diarahkan untuk mempersiapkan generasi pekerja yang siap bekerja dalam industri dan pasar tenaga kerja, sementara kurang memperhatikan pengembangan pemikiran kritis dan kesadaran sosial.
Adapun Paulo Freire, yang merupakan seorang penulis dan filsuf asal Brasil, memandang pendidikan sebagai alat utama dalam memerangi ketidaksetaraan sosial dan penindasan. Gagasan Freire tentang pendidikan pembebasan menciptakan pemahaman bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang memberdayakan individu untuk memahami dunia mereka dan bertindak untuk mengubahnya dan memandang pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan hanya alat reproduksi hegemoni.
Freire menekankan pada "pendidikan dialogis," di mana guru dan siswa terlibat dalam diskusi dan refleksi bersama. Ini memungkinkan siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran mereka, mempertanyakan realitas mereka, dan berkontribusi pada analisis kritis tentang ketidakadilan sosial. Pendekatan ini tidak hanya mengubah peran siswa menjadi agen perubahan, tetapi juga mengubah peran guru dari yang hanya mentransfer pengetahuan menjadi fasilitator pembelajaran yang mendorong pemikiran kritis.
Untuk melakukan revolusi terhadap sistem pendidikan di Indonesia, kita dapat mempertimbangkan integrasi gagasan Hegemoni Gramsci dan Pendidikan Paulo Freire. Bagaimana keduanya dapat digunakan untuk mengubah orientasi pendidikan dan mempromosikan pendidikan yang lebih inklusif, kritis, dan membebaskan?
Pertama-tama, kita perlu memahami bagaimana hegemoni bekerja dalam konteks pendidikan di Indonesia. Melalui analisis kritis, kita dapat mengidentifikasi nilai-nilai, ideologi, dan struktur kekuasaan yang mendominasi sistem pendidikan. Ini akan membantu kita mengidentifikasi titik-titik perubahan yang perlu diterapkan.
Pendidikan dapat digunakan sebagai alat pembebasan. Dengan mengadopsi pendekatan pendidikan Paulo Freire, kita dapat memperkuat kesadaran sosial siswa, mengajarkan mereka untuk meragukan ketidakadilan, dan mendorong mereka untuk bertindak sebagai agen perubahan dalam masyarakat, dengan memastikan Kurikulum pendidikan harus direvisi untuk mencakup pengajaran pemikiran kritis, analisis sosial, dan pemahaman tentang konsep-konsep seperti ketidaksetaraan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Ini akan membantu siswa memahami dunia dengan cara yang lebih mendalam.
Adapaun semua tahapan dalam melakukan revolusi sistem pendidikan perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, dimulai dari kelompok Masyarakat, para pengajar dan pendidik, ataupun organisasi masyarakat sipil. Kesadaran tentang pentingnya pendidikan yang lebih kritis dan pembebasan perlu ditingkatkan.
Kedua, Perlunya melakukan revisi atas metode ajar dan Kurikulum pendidikan untuk memasukkan elemen-elemen pemikiran kritis, analisis sosial, dan kesadaran tentang ketidaksetaraan dan keadilan sosial, yang disusun secara inklusif dan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti tokoh masyarakat dari berbagai kalangan dan latar belakang, yang tentu saja tidak melepaskan elemen budaya dan pendidikan nilai norma dari masyarakat Indonesia.
Ketiga, Pemberdayaan semua elemen pendidikan dalam integrasi nilai ke dalam pendidikan di Indonesia. Peran dari Guru, Tenaga pengajar dan pendidik, masyarakat secara umum dan pemerintahan perlu dilakukan dalam menciptakan budaya pendidikan yang berorientasi pada penerimaan dan reproduksi pengetahuan menjadi yang berorientasi pada pemahaman kritis dan pembebasan.
Guru perlu dilatih untuk menerapkan pendekatan pendidikan yang berorienatsi pada pembebasan. Guru yang merupakan otoritas pendidik perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang gagasan Paulo Freire dan bagaimana menerapkannya dalam konteks kelas. Masyarakat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan pendidikan dan pemantauan. Mereka harus memiliki suara dalam menentukan prioritas pendidikan di daerah mereka. Adapun Pemerintah dan organisasi terkait harus berinvestasi dalam infrastruktur pendidikan, perbaikan fasilitas, dan pengadaan sumber daya yang diperlukan.
Melibatkan masyarakat, termasuk orang tua, dalam proses pendidikan adalah langkah penting dalam menciptakan perubahan. Masyarakat harus terlibat dalam mendefinisikan prioritas pendidikan, memantau implementasi program, dan memastikan akuntabilitas. Pendidikan yang lebih inklusif dan merata akan memastikan bahwa semua lapisan masyarakat memiliki akses yang sama ke pendidikan berkualitas. Dalam konteks ini, kita dapat mencapai hasil positif-sum di mana pendidikan memberi manfaat bagi semua.
Pendidikan harus menjadi alat yang menghapuskan ketidaksetaraan dan penindasan, bukan malah yang memperkuatnya. Dengan menggabungkan pemahaman tentang hegemoni dan pendidikan pembebasan, kita dapat membantu mengarahkan pendidikan Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan dengan keterlibatan semua elemen.
Revolusi pendidikan adalah langkah pertama menuju perubahan sosial yang lebih luas. Melakukan revolusi terhadap sistem pendidikan di Indonesia dengan gagasan hegemoni Gramsci dan pendidikan Paulo Freire adalah suatu hal yag perlu diberdayakan dalam menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045 nanti.