Sumber Daya Pikiran - Demonstrasi merupakan salah satu bentuk partisipasi politik dalam konteks demokrasi. Dalam sistem demokrasi, setiap individu mempunyai hak untuk menyuarakan pendapatnya, dan demonstrasi massal adalah salah satu cara untuk menggunakan hak tersebut. Dalam konteks demokrasi di Indonesia, demonstrasi massal seringkali menjadi salah satu bentuk partisipasi politik warga negara untuk menyuarakan pendapatnya, mengungkapkan ketidakpuasannya, atau memperjuangkan haknya.
Demonstrasi ini dapat dikaitkan dengan berbagai isu,
termasuk kebijakan pemerintah, hak asasi manusia, masalah lingkungan hidup, dan
isu sosial lainnya. Poin-poin berikut mencerminkan hubungan antara demokrasi
dan demonstrasi massa dalam kaitannya dengan kekuasaan pemerintah di Indonesia.
Antonio Gramsci, seorang pemikir politik berpengaruh dari Italia,
memperkenalkan konsep dalam
kerangka teori hegemoni. Pertama, Intelektual Organik, dan kedua, Intelektual
Tradisional dalam penerapan pemerintahan rakyat yang objektif.
Intelektual Organik adalah individu yang berperan aktif
dalam masyarakat dan berkontribusi dalam pembentukan budaya dan ideologi.
Mereka tidak hanya terbatas pada lembaga pendidikan formal, namun juga
menggeluti berbagai profesi dan organisasi kemasyarakatan. Para intelektual ini
muncul dari dan berhubungan erat dengan kelompok sosial tertentu. Mereka
menciptakan dan menyebarkan ideologi yang mendukung kepentingan kelompok atau
kelas sosial yang mereka wakili. Gramsci percaya bahwa intelektual organik
merupakan bagian integral dari masyarakat yang memainkan peran penting dalam
membentuknya.
Antonio Gramsci, memperkenalkan konsep intelektual organik
dan tradisional sebagai elemen penting dalam analisisnya mengenai kekuasaan dan
hegemoni. Dalam konteks Indonesia pasca kemerdekaan, kita menyaksikan fenomena
yang memberikan contoh bagaimana para intelektual organik yang semula merupakan
aktivis mahasiswa progresif terjebak dalam dinamika politik yang mengubah
perannya menjadi alat legitimasi kekuasaan yang ada.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, aktivis mahasiswa memainkan
peran penting sebagai intelektual organik. Mereka adalah kekuatan-kekuatan
penting yang memperjuangkan nilai-nilai progresif, keadilan sosial, dan
partisipasi masyarakat dalam proses politik. Pada saat itu, para intelektual
organik menjadi katalis perubahan yang muncul dari masyarakat, mendukung dan
mewakili aspirasi masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, terjadi transformasi yang
kompleks. Intelektual organik tertentu, yang pernah menjadi aktivis mahasiswa
progresif, akhirnya terseret ke dalam jaringan kekuasaan. Pemerintah menyadari
potensi dalam mendapatkan dukungan dari kelompok intelektual ini untuk kepentingan
politik mereka sendiri. Mereka yang tadinya merupakan suara-suara kritis dalam
masyarakat kini telah menjadi bagian dari sistem, dan diberi penghargaan berupa
posisi dan kekuasaan sebagai imbalan atas dukungan mereka.
Transformasi ini telah menciptakan pergeseran peran para
intelektual organik, yang kini menjadi alat untuk melegitimasi penguasa.
Suara-suara kritis yang mewakili aspirasi masyarakat tidak lagi menjadi bagian
dari mekanisme yang mendukung pemerintahan yang ada. Akibatnya, timbul kesenjangan
antara intelektual organik dan masyarakat yang pernah mereka wakili.
Sementara itu, kaum intelektual tradisional, yang selalu
menjadi bagian dari struktur kekuasaan, terus mempertahankan status quo. Mereka
belum mengalami transformasi signifikan karena peran mereka sejalan dengan
kepentingan kelas penguasa. Dalam perspektif Gramsci, intelektual tradisional
adalah “prajurit” kekuasaan, yang menegakkan dan melegitimasi struktur sosial
yang ada.
Organisasi aparat negara dengan menggunakan akal budi
manusia sebagai kualitas, memberikan dampak yang besar pada keberagaman suara
di masyarakat. Kekurangan aspek ini menimbulkan kehadiran intelektual yang
berada di luar sistem, tidak bersambung dan tak dapat mengungkapkan suara
kritis. Akibatnya, berkurangnya pemikiran beragam dalam intelektual publik.
Dalam situasi ini, mungkin ada kekurangan pada kemampuan
masyarakat dalam menanggapi dan menantang kebijakan dan tindakan
sewenang-wenang dari pemerintah. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu ada
upaya untuk menumbuhkan intelektualisme masyarakat yang baru. Intelektual
publik yang independen, kritis, dan terhubung secara sosial dapat berfungsi
sebagai kekuatan korektif terhadap kecenderungan monolitik intelektualisme yang
dihasilkan oleh negara. Selain itu, mendorong pendidikan yang kritis secara
politik dan inklusif dapat memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengevaluasi
dan merespons tindakan pemerintah.
Menurut Gramsci, hubungan antara intelektual organik dan
tradisional mencerminkan kompleksitas dan dinamisme kekuasaan. Ketika
intelektual organik bertransformasi menjadi alat legitimasi bagi penguasa, hal
ini menimbulkan kekosongan dalam pemikiran masyarakat yang berdampak negatif
pada kesehatan demokrasi. Untuk memperkuat demokrasi di Indonesia, penting bagi
kita untuk menyadari pentingnya menjaga independensi intelektual organik.
Selain itu, peran intelektual publik juga harus ditekankan sebagai penghubung antara penguasa dan suara masyarakat yang berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil. Kembali memberikan peran yang tepat pada intelektual organik sebagai pengawas kritis nilai-nilai demokrasi yang mampu mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat dan memastikan hak suara yang merupakan aspirasi rakyat tetap didengar dalam setiap tahapan pembuatan kebijakan.